Ali Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa makna la taqfu ialah la taqul (janganlah kamu mengatakan).
Menurut Al-Aufi, janganlah kamu menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan bagimu tentangnya.
Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan, makna yang dimaksud ialah kesaksian palsu.
Baca Juga: Hukum Menghadiri Acara Ulang Tahun dalam Islam, Apakah Boleh?
Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya; atau kamu katakan bahwa kamu mendengarnya, padahal kamu tidak mendengarnya; atau kamu katakan bahwa kamu mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal tersebut secara keseluruhan.
Kesimpulan pendapat mereka dapat dikatakan bahwa Allah Swt. melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi.
Sedangkan tafsir as-Sa'di yang ditulis Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H menyamaikan maksud ayat diatas adalah janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Namun, telitilah setiap apa yang hendak kamu katakan dan kerjakan. Janganlah pernah sekali-kali menyangka semua itu akan pergi tanpa memberi manfaat bagimu dan (bahkan) mencelakakanmu.
Baca Juga: Haji Mabrur Ternyata Bukan yang Selama ini Dipahami, Berikut Penjelasan Gus Mus
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.”
Sudah sepantasnya seorang hamba yang mengetahui bahwasanya dia akan diminta pertanggung jawaban tentang segala yang telah dia katakan dan perbuat serta (cara) pemanfaatan anggota badan yang telah Allah ciptakan untuk beribadah kepadaNya, untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (yang akan diajukan).
Hal itu tidak bisa terlaksana kecuali dengan menggunakannya (hanya) dalam rangka pengabdian diri (beribadah) kepada Allah, mengikhlaskan agama ini (hanya) untuk-NYa dan mengekangnya dari setiap yang dibenci Allah.
Baca Juga: Hukum Orangtua Berebut Warisan Anak Padahal Ada Cucu, Begini Menurut Buya Yahya
Dalam tafsir Al Azhar, Buya Hamka menekankan bahwa manusia diberi Allah alat-alat penting agar berhubungan sendiri dengan alam sekelilingnya.
Alat itu seperti hati, akal, fikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sedang pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari dengan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudharat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
Selain itu seorang muslim dituntut untuk belajar, menuntut ilmu, menganalisis fenomena yang ada di sekelilingnya. Lantas mempertimbangkan dengan alat-alat yang telah diberikan Allah untuk selanjutnya berbuat. *