Adam Turun ke Bumi, Hukuman atau Rahmat?

photo author
- Sabtu, 27 September 2025 | 19:35 WIB
Pengajian rutin NgaSSo (Ngaji Sabtu Sore) di Alamo Homestay Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Sabtu (27/9/2025).  (Foto: Dok. Istimewa)
Pengajian rutin NgaSSo (Ngaji Sabtu Sore) di Alamo Homestay Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Sabtu (27/9/2025). (Foto: Dok. Istimewa)
 
HARIAN MERAPI - Pengajian rutin NgaSSo (Ngaji Sabtu Sore) di Alamo Homestay Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Sabtu (27/9/2025), berlangsung hangat dan diisi diskusi ringan. 
 
Kajian kali ini membahas QS. Al-Baqarah ayat 30 dengan rujukan Tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa. 
 
Ustadz Eko Supriatno SPd.I yang merupakan eks santri dari KH Maimun Zubair menjelaskan sesuai tafsir yang ada di Kitab Al Ibriz. 
 
 
Ayat ini mengisahkan dialog Allah dengan malaikat tentang penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi.
 
Malaikat sempat bertanya: mengapa harus menciptakan makhluk yang berpotensi merusak dan menumpahkan darah? Allah menjawab: “Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
 
KH. Bisri Mustofa menuliskan dalam Tafsir Al-Ibriz:  “Ingtanen nalika Allah ngendika marang para malaikat: Satemene Aku arep gawe wakil ing bumi. Para malaikat banjur matur: Apa Panjenengan arep gawe makhluk sing bakal gawe rusak lan getihen? Padahal awake dhewe tansah tasbih lan nyucèkaké Panjenengan. Allah banjur wangsul: Aku luwih ngerti apa sing ora kowe ngerti.”
 
 
Suasana pengajian makin hidup saat Siti Moza, seorang pengusaha laundry lulusan Akuntansi IAIN (UIN) Surakarta, mengangkat tangan dan bertanya dengan nada penasaran.
 
“Kenapa Nabi Adam sampai berbuat salah dan harus dihukum turun ke bumi? Padahal beliau itu kan Nabi,” ujarnya.
 
Pertanyaan tersebut langsung menyedot perhatian jamaah. Prof. Widodo Brontowiyono, penggagas dan penanggung jawab NgaSSo, merespons dengan santai.
 
 
“Mbak Moza, jangan dilihat hanya sebagai hukuman. Turunnya Nabi Adam memang bagian dari skenario besar Allah. Sejak awal Allah sudah bilang ingin menjadikan khalifah di bumi. Jadi ini bukan sekadar kesalahan Adam, tapi jalan menuju peran lebih besar: mengelola bumi,” terangnya.
 
“Kalau Adam tetap di surga, kita semua nggak akan ada di sini. Tidak ada keluarga, tidak ada anak-cucu, bahkan tidak ada pengajian sore ini. Jadi turunnya Adam justru rahmat, supaya bumi ramai, supaya manusia belajar sabar, belajar syukur, dan kembali kepada Allah dengan amal,” sambung Prof. Widodo.
 
 
Jamaah pun tertawa kecil sambil mengangguk-angguk tanda setuju. Diskusi sore itu menegaskan satu hal bahwa menjadi khalifah bukan berarti menguasai bumi, tapi merawat dan menjaga amanah Allah.
 
Jamaah yang hadir duduk lesehan, ditemani teh panas dan arem-arem, tahu bakso, dan plengeh yang ngangeni -  membuat suasana akrab layaknya obrolan keluarga.
 
Pengajian ditutup dengan doa bersama, penuh harapan agar jamaah mampu meneladani Nabi Adam, yakni sadar atas kekhilafan, segera bertaubat, dan menjalankan amanah besar menjaga bumi sebagai warisan untuk generasi mendatang. *

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sutriono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Refleksi NgaSSo: dari Anak Sapi Emas ke Dewa Uang

Minggu, 19 Oktober 2025 | 06:52 WIB

Adam Turun ke Bumi, Hukuman atau Rahmat?

Sabtu, 27 September 2025 | 19:35 WIB

Kenapa Sulit Khusyuk dalam Shalat?

Sabtu, 13 September 2025 | 19:05 WIB

Bulan Muharam bulan istimewa bagi umat islam

Rabu, 25 Juni 2025 | 06:56 WIB
X