Sholat: Gerakan Tubuh, Kesadaran Hati, dan Makna Batiniyah

photo author
- Sabtu, 1 November 2025 | 21:20 WIB
Jamaah mengikuti Ngaji Sabtu Sore (NgaSSo) di Alamo Homestay Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Sabtu (1/11/2025).  (Foto: Dok. Istimewa)
Jamaah mengikuti Ngaji Sabtu Sore (NgaSSo) di Alamo Homestay Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Sabtu (1/11/2025). (Foto: Dok. Istimewa)

HARIAN MERAPI - Sekitar empat puluh jamaah mengikuti Ngaji Sabtu Sore (NgaSSo) di Alamo Homestay Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Sabtu (1/11/2025).

NgaSSo yang diinisiasi oleh Widodo Brontowiyono sejak Januari 2023, kembali mengalir lembut, membawa kehangatan ilmu dan silaturahmi.

Jamaah duduk di bawah cahaya temaram sambil menikmati teh hangat dan jajan pasar mendengarkan kajian yang menghadirkan Ustadz Ahmad Eko Priyatno. Ustadz Eko menjelaskan kitab klasik Bidayatul Hidayah karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali.

Baca Juga: Refleksi NgaSSo: dari Anak Sapi Emas ke Dewa Uang

Kitab ini menuntun umat untuk membersihkan hati sebelum beramal dan menumbuhkan kesadaran sebelum beribadah. Tema yang diangkat: Sholat.

Ustadz Eko membuka pengajian dengan penjelasan lembut namun tajam: “Sholat bukan sekadar gerakan tubuh, tapi juga perjalanan batin.” Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa orang yang sholat tanpa hati hanyalah meniru gerakan orang sujud, tapi belum benar-benar tunduk. Sebaiknya yang hidup bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya. Karena di situlah ruh sholat tumbuh.

Sesi tanya jawab berlangsung hangat dan berbobot. Ustadz Muslimin, imam masjid As Shinta Nitiprayan, menanyakan perbedaan qunut biasa dan qunut nazilah. Ustadz Eko menjelaskan, qunut Subuh adalah sunnah muakkadah menurut mazhab Syafi'i — doa rutin di rakaat kedua setelah i‘tidal, warisan Rasulullah hingga wafat. Sedangkan qunut nazilah dibaca ketika umat tertimpa musibah besar, dan bisa dilakukan pada sholat apa pun.

Baca Juga: Kenapa Sulit Khusyuk dalam Shalat?

“Qunut biasa melembutkan hati,” katanya, "Sementara qunut nazilah menumbuhkan empati dan solidaritas."

Pertanyaan berikut datang dari Ustadz Ahmad Syafiq, koordinator operasional NgaSSo, tentang urutan surat dalam rakaat pertama dan kedua. Ustadz Eko menjawab, “Tidak ada urutan wajib, tapi sebaiknya mengikuti tartib mushaf — misalnya Al-A‘la di rakaat pertama, lalu Al-Ghasyiyah di kedua. Itu bentuk adab terhadap Al-Qur’an dan latihan kesabaran.”

Sementara Lies Udin, pengusaha galeri lukisan, bertanya tentang batasan dahi bagi wanita saat sujud, karena mukena sering menutupi sebagian jidad.

Baca Juga: CIMB Niaga Syariah Kampanyekan Bersama Bercahaya Lewat Haya Festival 2025 di Yogyakarta

Ustadz Eko menjelaskan, “Menurut Imam Syafi‘i, sebagian dahi — antara dua alis hingga batas rambut depan — wajib menempel pada tempat sujud. Jika mukena tipis dan masih menyentuh tanah, sholat sah; tapi jika tertutup kain tebal hingga dahi tak menempel, maka sujudnya tidak sah.”

Pertanyaan Ustadz Suyono, tokoh muda masjid, juga menarik: sahkah sholat dengan sajadah kecil? Jawaban Ustadz Eko menegaskan kelapangan Islam: “Selama tujuh anggota sujud tetap menempel di tempat sujud, walau tidak semuanya di atas sajadah, sholat sah. Islam tidak mempersulit.”

Menjelang maghrib, suasana hening. Beberapa jamaah tampak merenung dalam diam. Imam Al-Ghazali menulis, “Sujud adalah puncak kedekatan hamba kepada Tuhannya, karena yang tertinggi di tubuh — dahi — diletakkan di tempat terendah — bumi.”

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sutriono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Refleksi NgaSSo: dari Anak Sapi Emas ke Dewa Uang

Minggu, 19 Oktober 2025 | 06:52 WIB

Adam Turun ke Bumi, Hukuman atau Rahmat?

Sabtu, 27 September 2025 | 19:35 WIB

Kenapa Sulit Khusyuk dalam Shalat?

Sabtu, 13 September 2025 | 19:05 WIB

Bulan Muharam bulan istimewa bagi umat islam

Rabu, 25 Juni 2025 | 06:56 WIB
X