HARIAN MERAPI - Suasana Alamo Homestay, Sabtu (25/10/2025), terasa teduh. Di bawah langit sore yang lembut dan basah, jamaah dari warga Nitiprayan Kasihan Bantul dan sekitarnya duduk bersila atau bertimpuh, mengikuti pengajian rutin NgaSSo (Ngaji Sabtu Sore) bersama Ustadz Eko Priyatno, S.Pd.I sebagai narasumber dan Widodo Brontowiyono sebagai penanggung jawab kegiatan.
Tema pengajian kali ini mengangkat tadabur Surah Al-Baqarah ayat 57–65 — tentang Bani Israil, kaum yang dalam sejarahnya sangat dimanja oleh Allah: diberi awan peneduh, makanan manna dan salwa, bahkan air yang memancar dari batu ketika mereka kehausan. Namun semua itu tidak membuat mereka bersyukur; justru keluhan yang sering keluar dari mulut mereka.
KH. Bisri Musthofa dalam tafsir Al-Ibriz menjelaskan, kisah itu bukan sekadar sejarah, tapi cermin perilaku manusia di sepanjang masa. Bani Israil menunjukkan sifat yang sering muncul dalam diri manusia modern: tidak puas, mencari celah dalam hukum Tuhan, dan mengakali kebenaran.
Saat dilarang berburu di hari Sabtu, mereka memasang jaring pada hari Jumat dan mengambil hasilnya hari Minggu. Secara lahir tampak patuh, tapi sejatinya menipu. Maka Allah berfirman: “Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al-Baqarah: 65)
Baca Juga: Sabar dalam hadits Nabi
KH. Bisri menafsirkan, yang berubah bukan hanya bentuknya, tetapi juga akhlaknya. Mereka kehilangan kemanusiaan — meniru tanpa memahami, hidup tanpa arah, dan tak tahu malu. Kutukan itu adalah simbol bagi manusia yang pandai beralasan tetapi miskin kejujuran.
Ustadz Eko Priyatno dalam pengajian menegaskan, “Jangan-jangan kita juga sedang jadi Bani Israil zaman ini. Sudah diberi nikmat ilmu, iman, dan teknologi, tapi malah malas belajar dan senang mencari alasan.”
Widodo Brontowiyono menambahkan, kisah ini bukan untuk menyalahkan bangsa mana pun, tapi mengajak kita bercermin. Bani Israil dulu dikutuk karena mengakali hukum, dan umat Islam bisa bernasib sama bila mengabaikan amanah dan kejujuran.
Baca Juga: KPK Serahkan Aset Rampasan Rp11 Miliar ke Pemda DIY Berupa Tanah, Bangunan hingga Jet Ski
Sejarah menunjukkan, keturunan mereka kini banyak menguasai ilmu dan ekonomi dunia. Itu bukan karena agama atau darah, tetapi karena disiplin, tekun belajar, dan menghargai ilmu. Allah tidak memihak bangsa, melainkan memihak siapa pun yang jujur dan bekerja keras.
Pelajaran besar dari kisah ini jelas: 1. Syukur adalah kunci nikmat; 2. Kejujuran adalah tanda keberkahan; 3. Ilmu adalah pintu kejayaan; 4. Solidaritas adalah kekuatan umat.
Pengajian ditutup dengan teh hangat, arem-arem, kue tape, dan kue monthe. Namun yang paling hangat sore itu bukan minumannya, melainkan kesadaran baru bahwa kejayaan tidak diwariskan oleh darah atau ras, tapi ditumbuhkan oleh akhlak dan kejujuran.
“Ya Allah, jadikan kami umat yang memimpin dengan ilmu dan akhlak, bukan dengan kesombongan dan kelicikan.”