Oleh: Widodo Brontowiyono*
Malam ini langit memperlihatkan sebuah fenomena agung: gerhana bulan. Bulan yang biasanya memantulkan cahaya indah dari matahari, perlahan tertutup bayangan bumi. Fenomena ini bukan sekadar peristiwa astronomi biasa, melainkan tanda kebesaran Allah yang patut direnungkan oleh manusia.
Gerhana adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Rasulullah SAW ketika terjadi gerhana mengajarkan umatnya untuk memperbanyak shalat, doa, istighfar dan ibadah lainnya. Gerhana mengingatkan kita bahwa alam semesta ini tunduk pada aturan Sang Pencipta. Tidak ada sesuatu pun yang bergerak tanpa izin-Nya.
Gerhana bulan juga bisa mengajarkan filosofi sederhana: cahaya bisa tertutup oleh bayangan. Demikian pula dalam hidup kita, kebaikan sering tertutup oleh nafsu, kesombongan, dan keserakahan. Padahal, seperti bulan yang kembali bercahaya, manusia pun bisa kembali bersinar jika mau membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.
Fenomena ini juga menyentuh sisi batin kita: hidup tidak selamanya terang. Ada masa redup, gelap, bahkan terhalang. Tetapi justru dalam kegelapan itu, kita belajar bersabar, mencari arah, dan akhirnya menemukan kembali cahaya. Inilah makna spiritual dari gerhana—bahwa hidup adalah siklus antara terang dan gelap, dan kita diajak untuk tetap istiqamah.
Menariknya, gerhana terjadi karena keseimbangan alam semesta yang terjaga. Bayangkan bila orbit bumi dan bulan kacau, tentu gerhana pun tidak akan terjadi sebagaimana mestinya. Dari sini kita belajar bahwa alam memiliki hukum keseimbangan, dan manusia wajib menjaganya.
Sayangnya, keseimbangan itu kini terganggu. Laporan IPCC terbaru menyebutkan suhu bumi terus naik, hutan terus berkurang, polusi udara meningkat, dan kualitas air menurun. Mikroplastik telah ditemukan hampir di setiap sudut bumi—bahkan di tubuh manusia. Perubahan iklim menyebabkan banjir dan kekeringan silih berganti, sementara ketamakan manusia masih menutup mata terhadap tanda-tanda kerusakan ini.
Jika kita merenung, bukankah kerusakan lingkungan ini mirip dengan bayangan yang menutupi bulan? Bumi menjadi gelap bukan karena alam semata, melainkan akibat ulah manusia. Allah sudah mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia...” (QS Ar-Rum: 41).
Gerhana bulan adalah momentum untuk memperkuat iman sekaligus memperbaiki sikap kita terhadap alam. Setiap tetes air yang kita hemat, setiap pohon yang kita tanam, setiap plastik yang kita kurangi, adalah bagian dari ibadah menjaga amanah bumi. Allah menciptakan alam semesta bukan untuk dieksploitasi tanpa batas, tetapi untuk dijaga, diwariskan, dan dimakmurkan bersama.
Mari kita sambut gerhana ini dengan hati yang khusyuk. Biarlah ia menjadi pengingat bahwa cahaya selalu ada di balik kegelapan. Bahwa iman, kepedulian, dan tindakan nyata akan menyingkirkan bayangan keserakahan. Dan semoga, sebagaimana bulan kembali bersinar setelah gerhana, bumi pun bisa kembali sehat, indah, dan lestari—jika kita bersama-sama menjaga keseimbangannya.
*Penulis adalah pengajar pada Teknik Lingkungan UII; Mahasiswa PSPPI Unika Atma Jaya Jakarta