*Oleh: Bhenu Artha
FENOMENA kunjungan ke pusat perbelanjaan tanpa melakukan pembelian, atau yang sering disebut window shopping, bukanlah hal baru. Namun, di era digital seperti saat ini, fenomena ini terasa semakin marak dan kompleks. Bukan lagi sekadar 'cuci mata' biasa, ada pergeseran motivasi dan dinamika yang mendasarinya, didorong oleh perubahan perilaku konsumen, perkembangan teknologi, serta kondisi ekonomi.
Penyebab pertama adalah pengaruh digital dan e-commerce (showrooming effect). Ini adalah salah satu penyebab paling dominan. Konsumen datang ke toko fisik untuk melihat, merasakan, atau mencoba produk secara langsung, namun kemudian membelinya secara online karena harga yang lebih kompetitif, promo yang lebih menarik, atau kemudahan pengiriman. Pusat perbelanjaan menjadi 'ruang pamer' besar bagi toko online.
Baca Juga: Mengenal 'rojali' fenomena masyarakat yang hanya melihat-lihat di pusat perbelanjaan tanpa membeli
Penyebab selanjutnya adalah motivasi sosial dan hiburan (retail-tainment). Pusat perbelanjaan telah berevolusi menjadi destinasi hiburan dan rekreasi. Banyak orang datang bukan hanya untuk berbelanja, tetapi untuk makan, menonton bioskop, bermain di arkade, atau sekadar berkumpul dengan teman dan keluarga. Belanja menjadi aktivitas sekunder, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Penyebab berikutnya yaitu tekanan ekonomi dan penurunan daya beli. Inflasi, ketidakpastian ekonomi, dan pendapatan yang stagnan dapat membatasi daya beli masyarakat. Meskipun ingin membeli, banyak konsumen harus menahan diri karena keterbatasan anggaran. Mereka mungkin datang untuk melihat-lihat barang yang diinginkan, namun urung membeli karena harga yang tidak sesuai.
Baca Juga: Inilah penyebab munculnya fenomena 'rojali' atau rombongan jarang beli di pusat perbelanjaan
Window shopping juga dapat disebabkan oleh tren gaya Hidup minimalis dan konsumsi berkesadaran. Sebagian masyarakat, terutama generasi muda, mulai menganut gaya hidup minimalis dan konsumsi berkesadaran. Mereka cenderung membeli barang yang benar-benar dibutuhkan dan berkualitas, bukan sekadar mengikuti tren. Kunjungan ke pusat perbelanjaan bisa jadi hanya untuk mengamati tren atau mencari inspirasi, tanpa niat langsung untuk membeli.
Media sosial dan content creation juga berperan dalam maraknya Rojali maupun Rohana. Pusat perbelanjaan, dengan desain interior yang menarik dan spot-spot foto yang estetik, menjadi latar belakang populer untuk membuat konten media sosial. Banyak pengunjung datang hanya untuk berfoto, membuat video, atau live streaming, tanpa ada agenda belanja.
Baca Juga: Perbaikan jalur pendakian di kawasan Gunung Rinjani, antara pro dan kontra...
Fenomena ini tentu menjadi tantangan bagi para peritel dan pengelola pusat perbelanjaan. Tingginya traffic pengunjung yang tidak diimbangi dengan konversi penjualan yang signifikan dapat memengaruhi profitabilitas. Untuk bertahan, pusat perbelanjaan harus terus berinovasi dengan cara meningkatkan pengalaman (experience economy), dengan cara lebih fokus pada penyediaan pengalaman unik, acara, dan fasilitas yang menarik, bukan hanya sekadar toko.
Berikutnya, pusat perbelanjaan dapat melakukan integrasi O2O (online-to-offline), dengan menciptakan sinergi antara toko fisik dan platform online, misalnya dengan layanan click-and-collect, in-store pickup, atau teknologi augmented reality (AR) di toko. Personalisasi, memahami preferensi pengunjung dan menawarkan pengalaman belanja yang lebih personal juga mutlak dilakukan untuk menghadapi fenomena tersebut.
*Penulis adalah Kepala Kantor Urusan Internasional, Dosen Prodi Kewirausahaan Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mataram