* Oleh: Dr. Hj. Siti Aminah, M.A, Widyaiswara Ahli Madya BDK Semarang
PERUBAHAN cepat di bidang teknologi, ekonomi, dan sosial membuat kelas tidak lagi dapat dikelola dengan pola “guru menjelaskan, siswa mencatat, lalu diuji”. Dunia kerja dan kehidupan warga negara menuntut kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, mampu memecahkan masalah, sekaligus berkarakter.
Sejalan dengan itu, kajian tentang pendekatan belajar membedakan antara pendekatan permukaan (surface learning) yang berfokus pada hafalan, dan pendekatan mendalam (deep learning) yang menekankan pencarian makna, keterkaitan ide, dan penerapan pengetahuan pada situasi baru.
Di sisi lain, riset sintesis yang dilakukan Hattie melalui Visible Learning menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti kejelasan tujuan, kualitas umpan balik, serta keterlibatan kognitif siswa memiliki pengaruh besar terhadap hasil belajar.
Baca Juga: Guna perkuat ketahanan pangan daerah, Pemkab Karanganyar salurkan hibah alsintan dan ternak
Artinya, desain pembelajaran bukan sekadar “gaya mengajar guru” sangat menentukan apakah siswa hanya menghafal, atau benar-benar memahami dan mampu menggunakan pengetahuannya.
Kementerian Pendidikan mempromosikan “Pembelajaran Mendalam” sebagai kerangka transformasi pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan, dengan penekanan pada olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara terpadu.
Dokumen naskah akademik dan paparan resmi menautkan pembelajaran mendalam dengan penguatan literasi, numerasi, keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS), dan Profil Pelajar Pancasila.
Artikel ini bertujuan menguraikan strategi praktis bagi guru untuk mendesain pembelajaran mendalam yang implementatif di kelas. Pembahasan memfokuskan pada: (1) perumusan tujuan belajar dan penyelarasan (constructive alignment), (2) pengelolaan cakupan materi dan pengkonteksan dalam kehidupan nyata siswa,
(3) pemilihan strategi pembelajaran aktif dan kolaboratif, (4) desain tugas dan asesmen yang mendorong HOTS, serta (5) penciptaan iklim kelas reflektif dengan umpan balik yang mengembangkan.
1. Merumuskan Tujuan Belajar dan Menyelaraskan Komponen Pembelajaran
Biggs dan Tang memperkenalkan gagasan constructive alignment: guru terlebih dahulu merumuskan hasil belajar yang diinginkan, kemudian menyelaraskan aktivitas dan asesmen agar “memaksa” siswa melakukan jenis berpikir yang sesuai dengan tujuan tersebut.
Jika tujuan hanya menuntut siswa mengingat definisi, maka yang terjadi adalah latihan hafalan. Namun bila tujuan dirumuskan pada tingkat analisis, evaluasi, atau kreasi, maka kegiatan belajar pun harus dirancang untuk mengundang proses berpikir tersebut.
Baca Juga: Guru profesional wujudkan Indonesia kuat