Manasik Hati: Sebuah Refleksi Hari Kelahiran Muhammadiyah

photo author
- Rabu, 4 Juni 2025 | 15:36 WIB
Isnan Hidayat, M.Psi.
Isnan Hidayat, M.Psi.

Oleh : Isnan Hidayat, M.Psi. Alumni Pascasarjana Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

HARIAN MERAPI  - Alkisah, menurut riwayat yang kami dapatkan dari Pak Guru Mata Kuliah Agama Islam dan Kemuhammadiyahan, KH Ahmad Dahlan lebih menghendaki ulang tahun Muhammadiyah diperingati di tanggal Hijriyahnya, yakni diperingati di 3 hari sekaligus—tanggal 8, 9, dan 10 Dzulhijjah.

Spiritnya sesuai dengan semangat kelahiran Muhammadiyah: Tarwiyah sebagai hari Ikhlasunniyah (niat berhaji), Arafah sebagai Hari untuk Wukuf, dan Idul Adha sebagai hari ber-Tadhiyah.

Baca Juga: Ini akibatnya bila tetangga tidak saling akur

Mungkin bukan kebetulan jika Persyarikatan ini lahir dalam nafas manasik haji, karena barangkali, ber-Muhammadiyah sejatinya adalah sebuah perjalanan panjang menuju Allah, yang berangkat dari niat bersih, berdiam dalam perenungan, bersatu pada dalam introspeksi dan ketulusan, dan bermuara pada kerelaan untuk berkorban.

Di tengah dunia yang bising, kadang kita lupa: bahwa Persyarikatan ini tidak dimaksudkan menjadi institusi besar yang hanya terlihat dari hingar bingar kegiatan dan ketinggian bangunannya, tapi sekaligus menjadi gerakan yang dalam diam tanpa banyak cakap membersihkan hati dan nurani umat.

Ia bukan semata panggung yang ramai, tapi ia juga menikmati jalanan sunyi. Bukan semata soal besaran jumlah, tapi juga soal komitmen menjaga lurusnya arah.

Bukan soal semata bagaimana cara memenangkan kompetisi, tapi juga mengajak setiap anggotanya untuk bertafakkur berkontemplasi.

Baca Juga: Wamen Komdigi: Kebijakan Perubahan Iklim Perlu Dikomunikasikan Secara Efektif dan Inklusif

Tarwiyah mengajarkan pada diri kita untuk tidak pernah berhenti bertanya : Apakah niat kita masih terjaga jernihnya seperti saat dahulu kita mengawalinya?

Karena mungkin mudah menjaga niat saat kita masih sederhana dan tidak berpunya, namun sungguh betapa sulitnya menjaga keikhlasan saat aset kita sudah ada dimana-mana.

Wukuf di Arafah mengajarkan pada diri kita untuk tidak pernah berhenti bertanya : Apakah hati kita masih menghadap Arafah untuk berhenti dari ego dan amarah?

Karena mungkin mudah menjaga emosi saat kita belum dikenal dan masih miskin papa, namun sungguh betapa sulitnya menjaga ketenangan dan meredam ego saat kita sudah terjebak dalam hingar bingar popularitas dan merasa di atas segalanya.

Baca Juga: BRI Salurkan KUR Rp54,9 Triliun Hingga April 2025, Bukti Nyata Berpihak Pada UMKM

Hari Raya Idul Adha mengajarkan pada diri kita untuk tidak pernah berhenti bertanya : Apakah kita masih mau menyembelih keakuan kita demi maslahat dan persatuan umat?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Swasto Dayanto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X