Moralitas dalam Bernegara

photo author
- Jumat, 30 Mei 2025 | 12:30 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (dok pribadi)
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

Benar. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Pernyataan demikian, tertuang dengan jelas dalam Penjelasan UUD 1945 asli. Artinya, sejak negara Indonesia diproklamasikan, telah ada niat tulus, tekad, dan semangat untuk menjadikan hukum sebagai panglima dalam segala aspek kehidupan bernegara.

Indonesia itu bukan negara moral. Pernyataan inipun ada benarnya. Secara tekstual/eksplisit, tak dijumpai dalam konstitusi maupun peraturan-perundangan, pernyataan Indonesia sebagai negara moral. Walau demikian, hemat saya, sungguh keliru ketika pemaknaan hukum dan negara hukum dipisahkan dengan moralitas. Apalagi kalau kelewat batas, bahwa negara hukum bukan negara moral. Ini jelas kesesatan berpikir, kesesatan filosofis, bahkan kesesatan ideologis.

Mengapa demikian? Karena hukum bukanlah sekedar undang-undang. rumusan pasal dan ayat ke dalam teks-teks tertulis saja. Dalam keutuhan dan keotentikannya, hukum itu suatu institusi yang sarat dengan nilai-nlai moralitas.

Baca Juga: Karutan Salatiga yang baru Anton Adi Ristanto deklarasikan Zero Narkoba, begini suasananya

Perihal urgensi moralitas dalam bernegara hukum, pernah disampaikan oleh Satjipto Rahardjo (Kompas, 8 November 1993). Kala itu, oleh Prof.Tjip diintroduksikan pentingnya Rule of Pancasila. Di situ, Pancasila sebagai moralitas bangsa mesti dijadikan acuan, pedoman, panduan, dan tolok-ukur segala aspek kehidupan bernegara hukum, bagi penyelenggara negara maupun warga negara.

Dalam doktrin Rule of Moral (atau secara spesifik Rule of Pancasila) ada konsekuensi teoretis dan praksisnya, yakni pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum, seluruhnya wajib mengunggulkan “olah hati-nurani” daripada ”olah otak”. Tidak boleh sekali-kali didasarkan olah fisik (kekuatan) ala preman. Dengan kata lain, berhukum itu berkomitmen pada masalah moralitas. Nilai-nilai moral, seperti: ketaqwaan, kejujuran, kebenaran, keadilan, kebangsaan, dan sejenisnya, dijadikan sebagai basis/fundamen/sumber untuk membuat, memahami, dan membumikan bunyi/teks perundang-undangan pada seluruh urusan bernegara.

Bila konstruksi berpikir pada doktrin Rule of Pancasila itu digunakan sebagai pisau analisis sekaligus alat/solusi atas permasalahan kehidupan bernegara, sebenarnya tak perlu ada tumpang-tindih, kerumitan, ataupun kompleksitas berlebihan. Maaf, ambil contoh. Kasus dugaan ijazah palsu, 8 (delapan) tuntunan Purnawirawan, kasus korupsi, kasus rangkap jabatan, dan sebagainya.

Hemat saya, menunjukkan secara terbuka/transparan ijazah yang diragukan keasliannya oleh publik itu tanggung jawab moral. Silahkan diuji secara ilmiah/akademik. Teliti sungguh-sungguh, seluruh proses perkuliahan, sejak masuk menjadi mahasiswa, IPK, KKN, skripsi, yudisium, hingga diterbitknnya ijazah. Bila ditemukan ada satu saja permasalahan pada rangkaian/tahapan proses studi, maka bisa dinyatakan ijazah ilegal karena diperoleh secara nonprosedural.

Baca Juga: Kisah Ahmad Jupri Lambungkan Peternakan BBS dari Modal Rp20 Juta hingga Punya Aset Rp80 Miliar

Ketika ijazah ada bukti fisiknya, silahkan diuji legalitas dan keotentikannya. Uji forensik, bisa menjadi salah satu metode pengujiannya. Perbandingan dengan ijazah lain, bisa pula menjadi metode pengujian keidentikannya. Hemat saya, mestinya sebagai dokumen akademik, pembuktian keaslian ijazah itu oleh lembaga akademik, bukan lembaga lainnya.

Tanpa mengurai kasus-kasus lain-lainnya, ketika publik merasakan bahwa kasus-kasus dimaksud berdimensi luas, hingga kepentingan bangsa dan negara terdampak, maka ada kewajiban moral, kewajiban hukum, kewajiban politik,  bagi individu, birokrat, aparat, maupun lembaga, untuk mengatasi kelemahan sistem hukum (utamanya penegakan hukum) dengan keunggulan moral.  Tidak sepantasnya, dan sesat ketika aspek moral diabaikan, ataupun diadili tersendiri/terpisah dari kasus hukumnya. Secara utuh, pelanggaraan moral merupakan pelanggaran hukum paling serius.

Sungguh disayangkan bahwa konstruksi dan doktrin Rule of Pancasila itu, kini telah ditinggalkan. Pendapat, analisis, dan komentar dari pakar terhadap berbagai kasus, umumnya hanya otak-atik terhadap bunyi pasal-pasal, serta-merta lalai terhadap tanggung-jawab moral. Mereka jarang menukikkan pendapatnya pada hati-nurani, dan hanya bersemangat pada dorongan nafsu duniawi. Indikasi perilaku demikian, antara lain terlihat pada pengabaian masalah kepantasan, kepatutan, rasa malu, sopan-santun, dan sejenisnya. Kata-kata kotor, silat lidah, debat kusir, sikap saling menyerang, dominan mewarnai pertarungan memperebutkan kemenangan, walaupun jauh dari kebenaran.

Baca Juga: DPRD Sleman ke Studio TV One, Gustan Ganda: Media Masa Menjadi Tolok Ukur Berita Kebenaran

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X