Oleh: Sudjito Atmoredjo*
Kita mesti telanjang dan benar-benar besih;
Suci lahir dan di dalam batin;
Tengoklah ke dalam sebelum bicara;
Adalah Dia di atas segalanya:
Oh Oh Oh Adalah Dia di atas segalanya.
(Ebiet.G.Ade)
Wajar saja, apabila orang-orang di negeri ini banyak berharap terhadap hukum. Akal sehat, mudah memahami penalaran demikian. Secara konsititusional, Indonesia adalah Negara hukum. Bahkan, lebih ideologis, Pancasila dijadikan sebagai sumber hukum tertinggi. Itu semua, sudah lama menjadi komitmen bangsa. Mestinya, komitmen diperkuat, dan bukannya ditinggalkan.
Sayang, hukum di negeri ini, masih jauh dari karakter konstitusionalitas dan idealitas tersebut. Hukum semakin jauh dari konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, oleh Mahkamah Konstitusi sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Alih-alih diperbaiki, justru dihidup-hidupkan, dikuatkan, disahkan, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja.
Tulisan ini berkehendak mengangkat pentingnya aspek moralitas, khususnya kesucian diri (dari dan dalam) hukum. Dalam perspektif Volkgeist dan way of life, dikenal nilai-nilai ketuhanan. Inilah bagian utama dan sumber nilai-nilai Pancasila seluruhnya. Di sana diajarkan perihal kesucian diri. Jadi, mengupayakan agar kesucian diri menjadi jantung hukum Indonesia, sebenarnya sangat filosofis dan ideologis.
Baca Juga: Polres Sukoharjo tes urine pengunjung dan pemandu lagu di hiburan malam, ini tujuannya