Kita sadar, sekecil apapun, setiap warga Negara maupun penyelenggara Negara, pasti pernah berbuat salah. Bila kesalahan itu ditutupi, dibiarkan, dan terus ditambah dengan kesalahan-kesalahan lain, pastilah jiwa dan raga bangsa menjadi kumuh, berkarat, berpenyakit. Itulah maka pembersihan diri, menjadi amat penting dan perlu dilakukan setiap saat, atas dasar kesadaran dan penyelesalan.
Bagi orang bertaqwa, pasti paham, bahwa Rasulullah saw telah dijamin kesuciannya. Walau demikian, beliau setiap hari tak kurang 100 kali beristighfar. Pada akhlak mulia itu, tersirat ajaran, agar mayoritas penduduk di negeri ini mengikuti jejak keteladanannya. Artinya, siapapun, perlu bersungguh-sungguh mengutamakan kesucian diri (jiwa dan raganya), hingga harta benda, dan jabatan yang diperolehnya.
Hemat saya, demi kesucian diri, paling tidak, ada empat hal yang perlu dibenahi. Pertama, kesadaran adanya pengawasan dari Allah swt. Segala amal – baik maupun buruk – dicatat oleh malaikat. Segalanya, dibalas seadil-adilnya. Pengadilan sejati bukannya di dunia, melainkan di akhirat kelak. Berawal dari kesadaran religius demikian, pastilah berbuah sikap mawas diri, diikuti upaya menjaga kesucian diri, hingga berkontribusi pada kehidupan berbangsa, agar berlangsung damai dan harmonis.
Kedua, kesadaran bahwa kesucian diri merupakan sumber kekuatan. Kekuatan (kedaulatan) bangsa saat ini lemah. Berhadapan dengan investor asing, terus-menerus takluk. Kedaulatan atas negeri menjadi tergadaikan kepada bangsa asing. Kapan bangsa ini mandiri, dan tegak berdiri sejajar dengan bangsa lain? Kalau, kesucian diri menjadi jati diri seluruh komponen bangsa. Kekuatan bangsa, hanya akan optimal bila didukung kesucian diri warga Negara dan penyelenggara Negara.
Ketiga, kesucian diri merupakan sarana menolak bencana. Bersumber pad tafsir nilai religius tentang azab, Allah swt tidak akan mengazab suatu bangsa, bila di dalamnya ada orang-orang yang senanatiasa membersihkan diri (QS. al-Anfal: 33). Disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa ada dua pengaman atau penyelamat suatu bangsa dari bencana, yaitu keberadaan orang suci, dan maraknya perilaku pembersihan diri.
Di negeri ini, sungguh sulit dijumpai orang-orang suci. Maka, dalam rangka penolakan bencana, tinggallah satu sarana, yakni pembersihan diri masing-masing. Cuaca ekstrem plus bencana alam, maupun bencana non alam, terus-menerus melanda beberapa wilayah. Korban jiwa dan harta benda tak terbilang. Dalam ketidakberdayaan, mestinya, pembersihan diri terus dilakukan oleh semua pihak.
Keempat, kesucian diri merupakan sarana kelancaran urusan dan kelapangan rezeki. Urusan kehidupan, kini kian kompleks. Ketergantungan pada ilmu, tekonologi, dan kekuasaan, amat terasakan. Bergayut dengan pola hidup sekuler, senantiasa ada rasa was-was, kekhawatiran, dan penderitaan yang menghantui. Kapan ketenangan hadir? Bila sekularitas dikikis, dan digantikan dengan sikap religius.
Rezeki Allah swt tak terbatas jumlahnya. Setiap orang wajib menjemputnya. Artinya, ada upaya terukur dan teratur, sesuai dengan hukum-hukum Tuhan. Pilih yang halal. Jauhi yang haram. Jangan sekali-kali hukum Tuhan dicampakkan. Hukum sebagai produk politik, sarat dengan kepentingan duniawi, selayaknya, diganti dengan hukum nasional yang betul-betul bersumber pada nilai-nilai Pancasila.
Hiruk-pikuknya kasus-kasus hukum di negeri ini, umumnya berurusan dengan materi duniawi. Materi duniawi, diperebutkan oleh banyak pihak, dengan berbagai cara. Orang-orang (investor) asing leluasa bersaing dengan warga negeri asli dalam memperebutkan sumber daya alam. Kolaborasi mereka dengan oknum politisi dan oknum penegak hukum, dijadikan strategi efektif untuk pemenangan setiap persaingan. Regulasi yang dipandang merintangi, dibabat habis, dan digantikan dengan regulasi berwatak elitis-kapitalistis.
Baca Juga: Tim bulutangkis dan tenis meja PWI DIY melawat ke BBPPMPV Seni dan Budaya guna bangun sinergi
Kini, pengelolaan bumi, air, tambang, ruang angkasa, dan sumber daya alam lainnya, dikelola berdasarkan faham kapitalisme, liberalisme, positivisme, dan antraposentrisme. Atas dasar faham-faham filsafat tersebut, senantiasa ada pembenaran terhadap segala perbuatan manusia yang menang persaingan.
Keuntungan besar dari investasi, dibawa ke negara lain, untuk kepentingannya. Apa yang tertinggal di negeri ini? Kerusakan lingkungan. Environmental sustainability?. Green economy? Itu semua, sepadan mimpi di siang bolong.
Masalah kesucian diri di negeri ini, sungguh sangat serius. Panasnya suhu politik, carut-marutnya regulasi, dan maraknya mafia hukum, semuanya bersumber dari kotornya jiwa bangsa. Dalam situasi penyelenggara negara sibuk mempertahankan kekuasaan, sibuk mengawal pemberlakuan Perppu tentang UU Cipta Kerja, dan ketika oknum aparat (plus pengacaranya) sibuk melepaskan diri dari jeratan hukum, maka ajakan untuk kembali kepada kesucian diri (dari dan dalam) hukum amat diperlukan.