Panembahan Rama tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya beliau membayangkan, bedahnya Mataram hanya tinggal menunggu waktu saja.
Trunajaya cucunya adalah seorang yang gagah perkasa dan banyak prajuritnya baik dari Madura maupun daerah-daerah taklukannya.
Baca Juga: Perlawanan Karaeng Galesong 4: Pasukan Belanda Dimeriam dengan Senjatanya Sendiri
Karaeng Galesong juga punya arti yang tidak kecil apalagi jika ditambah dengan kekuatan dari Giri.
Giri menjadi bersemangat membantu membedah Mataran lantaran di masa lalu banyak ulama, kyai, dan santri-santrinya dihabisi oleh Kanjeng Sultan karena dicurigai akan mengadakan pemberontakan.
Sesudah pembicaraan itu dianggap cukup Trunajaya segera minta pamit pulang ke Sampang menjenguk keluarganya.
Baca Juga: Perlawanan Karaeng Galesong 5: Mendarat di Pelabuhan Demung, Menjarah Harta Benda Orang Pesisir
“Kulup, prajurit Sampang kan sudah banyak yang ada di Surabaya?”, tanya Panembahan Rama.
“Sebagian besar, Eyang. Yang lain berada di sini. Meski begitu aku memerlukan datang ke Sampang selain minta doa restu keluarga juga akan mengambil patremku yang masih kusimpan di sana”, jawab Trunojoyo.
“Ya, ambilah patremmu itu mungkin nanti diperlukan. Oh. ya, hari ini juga Eyang mau pulang ke Kajoran”.
“Kok kondur tergesa, Eyang? Apa tidak sebaiknya nanti bersama-sama rombongan prajurit kami saja? Kan lebih aman?”
Panembahan Rama tersenyum, “Terima kasih. Eyang memerlukan pengamatan terhadap kondisi kerajaan Mataram dari jarak dekat agar bisa memberimu keterangan yang selengkap-lengkapnya. Sehingga kamu dapat menentukan strategi yang pas”.
“Ya ya ya terima kasih, Eyang”, Trunojoyo dan Karaeng Galesong segera minta pamit juga, mereka butuh persiapan-persiapan yang matang untuk membedah Mataram.
Selain karena prajurit Mataram kuat dan dalam jumlah yang banyak juga kekuatan tentara sewaan dari kompeni itu patut diperhitungkan. (Ditulis: Akhiyadi/Koran Merapi)*