HARIAN MERAPI - Saat mendengar kabar ayam jago kesayangannya kalah dalam sebuah sabung ayam, Sunan Kudus mengutus seorang santrinya untuk menemui pemilik ayam jago yang menang itu untuk segera menghadap kepadanya.
Ki Ageng Kedu pun menghadap Sunan Kudus di rumah Tie Lieng Sieng. Para santri telah menyiapkan hidangan untuk menghormati kehadiran Ki Ageng Kedu. Di rumah itu, juga hadir sesepuh bernama Syeh Jangkung.
Melihat kehadiran Ki Ageng Kedu, Syeh Jangkung menyapa terlebih dulu, “Dasar masih muda, tampan lagi..., ke sini nak.” Syeh Jangkung menyanjung muridnya sambil merangkul pundak Ki Ageng Kedu.
Baca Juga: Ki Ageng Makukuhan sosok penyebar agama Islam di kawasan Gunung Sumbing - Sindoro
Semua yang hadir terheran-heran melihat Sunan Kudus yang tampak tenang. Karena mereka mengira, Sunan Kudus akan marah kepada Ki Ageng Kedu atas kejadian sabung ayam beberapa hari yang lalu. Tetapi mereka bertiga justru bersenda gurau seperti anak dan bapak.
Mereka bertiga membicarakan pelaksanaan tugas dan kuwajiban di daerahnya masing-masing dalam syi’ar agama Islam.
Tidak diduga, dalam pertemuan itu semua sesepuh di Kudus sudah sepakat, Ki Ageng Kedu akan dihadiahi putri boyongan yang juga santri bernama Raden Ayu Sulasmi.
Sunan Kudus pun merestuinya dan berkata kepada Ki Ageng Kedu, “Sekarang lanjutkanlah kamu syi’ar agama Islam di Kedu. Dan kamu saya jodohkan dengan Raden Ayu Sulasmi. Semoga peristiwa ini ada hikmahnya.”
Menikah dengan Raden Ayu Sulasmi, Ki Ageng Kedu mempunyai empat anak yaitu, Raden Hasan Dadung Awuk, Raden Hasan Sadzali, Raden Rara Sulastri dan Raden Hasan Munadi.
Nama Ki Ageng Makukuhan atau Ki Ageng Kedu sangat harum di kawasan Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Karena dari darma baktinya dalam menyiarkan agama Islam di daerah ini, hampir semua warga di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro mengagungkan namanya, lebih-lebih para muridnya.
Ketika Ki Ageng Makukuhan wafat tahun 1497 M di desa Kedu, jenazahnya menjadi rebutan para kawula di wilayah Sumbing – Sindoro. Mereka ingin menghormati Ki Ageng Kedu dengan merawat dan memakamkannya di tempatnya masing-masing.
Ada yang ingin memakamnya di Gunung Sumbing dan ada yang ingin memakamnya di Gunung Sindoro. Perebutan jenazah Ki Ageng Kedu itu terjadi di Sungai Galeh, yaitu tapal batas antara Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.