HARIAN MERAPI - Pada hari Jum’at pada tahun 1828, terjadi pertempuran besar di dusun Tingal desa Wanurejo, Borobudur, Magelang.
Ketika perajurit Pangeran Diponegoro akan melaksanakan ibadah sholat Jum’at, di dusun ini belum ada masjid.
Sehingga manggala yudha, Yudhapati dan Yudhaningrat berinisiatif mendirikan sebuah masjid darurat yang oleh masyarakat setempat disebut ‘masjid tiban’.
Baca Juga: Pelaksanaan MBG harus dibenahi, Idrus Marham: Pihak yang bermain-main” harus diberi tindakan tegas
Untuk tanda panggilan sholat Jum’at dengan menabuh bedug. Satu-satunya bedug yang ada adalah bedug yang biasanya digunakan sebagai ‘Genderang Perang” lasykar Pangeran Diponegoro.
Bedug ini ditabuh sebagai tanda komando dimulainya peperangan. Sampai sekarang, bedug itu digunakan oleh masyarakat di dusun Tingal Kulon sebagai tanda waktu sholat, di samping adzan,
Bedug peninggalan zaman Perang Diponegoro itu berukuran diameter 80 centimeter dan panjang 1,05 meter.
Meski bedug tersebut merupakan salah satu benda peninggalan sejarah, namun belum ada tempat khusus untuk menyimpannya. Dan kini disimpan di masjid ‘Baiturrohman’ dusun Tingal Kulon.
Baca Juga: Duel Dua Pengendara Sepeda Motor di Depok Sleman Gara-gara Hampir Tabrakan
Menurut penuturan Suhardi warga desa setempat (pensiunan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah), pada masa Perang Diponegoro desa Wanurejo merupakan daerah kancah perang.
Dari Selarong P. Diponegoro beserta lasykarnya melakukan perlawanan terhadap serdadu penjajah Belanda dan begundalnya.
Serdadu penjajah itu terus merangsek ruang gerak perajurit P. Diponegoro dengan sistem perang ‘benteng stelsel’.
Atas nasehat Nyi Ageng Serang, P. Diponegoro melanjutkan perlawanan terhadap serdadu penjajah Belanda dengan cara perang gerilya, menyusuri lereng-lereng Pegunungan Menoreh dari daerah Kulon Progo sampai ke kaki pegunungan di wilayah Kabupaten Magelang.
Nyi Ageng Serang juga menasehati, agar P. Diponegoro mencari tempat yang ‘tanahnya harum’ untuk kubu pertahanannya.