***
Selebihnya barangkali, kabar buruk. Pengumuman tutupnya media sudah disampaikan Harian Republika, sehingga mereka hanya akan tampil versi digital, menyusul Tempo dan Suara Pembaruan.
Tiga majalah di grup Kompas Gramedia juga berhenti terbit per Desember. Meski masih ada yang bertahan dan beredar di Jakarta seperti Harian Rakyat Merdeka, Kompas, Bisnis Indonesia, Pos Kota, Jawa Pos, Harian Jakarta. Biaya produksi yang semakin tinggi—harga kertas dan biaya cetak—dan kecenderungan masyarakat menikmati berita dari HP dan Ipad, membuat bisnis koran tidak lagi menjanjikan.
Secara nasional di daerah, kelompok Jawa Pos masih sebagian besar masih eksis di sebagian besar provinsi di pelosok Indonesia, tetapi oplah sudah disesuaikan agar ekonomis, dengan PDF sebagai substitusi untuk mempertahankan pembacanya. Tribunnews grup yang semula gencar berekspansi, kini memang meningkatkan kehadiran di berbagai provinsi, tetapi bentuknya media siber. Di luar kedua grup ini masih ada yang bertahan, tetapi pontang-panting karena tidak mudah beradaptasi dengan biaya operasional dan perubahan pola konsumsi berita masyarakat.
Baca Juga: Hakim vonis bebas Nikita Mirzani dalam kasus pencemaran nama baik
Harian Disway yang sempat muncul atas prakarsa Dahlan Iskan untuk mempertahankan jurnalisme koran, akhirnya kerepotan juga, sulit dikembangkan. Akhirnya mau tidak mau ikut masuk dalam platform digital.
Kalau lima enam tahun lalu kita masih dapat menemukan pengecer menjajakan korannya di tepi jalan atau di keramaian, saat ini seperti mencari jarum dalam jerami. Kalaupun ada yang masih menjual pastilah di kios, ataupun mungkin toko pinggir jalan. Koran Jakarta dulu sempat membuat boks koran yang dapat dibeli dengan koin, sesuatu yang mudah kita temukan di Amerika Serikat atau Eropa—duluuuu--, tetapi kemudahan itu sudah tidak ada. Kalau mau terjamin dapat, ya berlangganan. Sulit mencari eceran.
Semakin sedikitnya media cetak karena tutup dan mengecilnya jumlah halaman, pastilah berimbas pekerja pers. Tawaran pensiun dini, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terdengar walau sayup-sayup. Berbeda dengan di AS misalnya, di Tanah Air tercinta ini media cetak apalagi yang pernah harum namanya, tidak mau membuat statement tentang PHK. Dianggap bikin malu, meskipun sebenarnya itu bagus untuk keterbukaan informasi bagi publik.
Dewan Pers juga biasanya memperoleh informasi apabila ada masalah di dalam pemutusan hubungan kerja itu, kalau tidak—win win solution-- sama sekali tidak tahu berapa banyak wartawan yang berhenti kerja setiap tahunnya.
Ini pulalah yang menjadi penyebab pertumbuhan media siber tidak pernah berhenti. Lepas dari media cetak, daripada nganggur, baik sendiri maupun bersama-sama mereka lalu membuat media siber baru. Dan memang, ada saja orang yang bersedia memberi modal, karena memang julukan “pengusaha pers” merupakan status bergensi. Bisa digunakan untuk membantu bidang usaha lain yang sudah dimiliki. Mungkin ada yang berpikir, siapa tahu bisa masuk HIPMI atau Kadin he..he..he.
***
Kabar paling buruk tentu saja disahkannya UU KUHP akhir November lalu, yang secara langsung memuat ancaman terhadap kerja-kerja jurnalistik. Dewan Pers mencatat ada 9 klaster yang membuat produk jurnalistik menjadi tindak pidana yang jelas-jelas menghambat kemerdekaan pers, yang sebenarnya sudah disampaikan ke DPR dan Pemerintah RI melalui Menko Polhukam tetapi tidak digubris. Tentu masyarakat pers akan melakukan judicial review, tetapi itu menjadi beban yang semestinya tidak perlu apabila pers diletakkan sebagai pilar keempat demokrasi yang sudah diakui bersama saat reformasi 1998.
Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara; Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah; Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyerbarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong; Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan; Pasal 400 Tindak Pidana Penghinaan, pencemaran nama baik; Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.