Rekayasa dan Pemelintiran Hukum

photo author
- Senin, 3 Oktober 2022 | 14:00 WIB
Sudjito Atmoredjo (Dok.Merapi)
Sudjito Atmoredjo (Dok.Merapi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo *)

Pak Kiai, pengasuh pondok pesantren. Beliau, saya kenal dengan baik. Terimakasih, telah merespons artikel saya berjudul “Orang-orang Baik di Negeri Pancasila” (22/9/2022). Dinyatakan, “orang baik di negeri pejabatnya bobrok, akan ambyar dengan rekayasa hukum, kemudian dijatuhkan martabatnya dalam proses pemelintiran hukum”. Sebagai apresiasi atas respons tersebut, saya balas dengan kata-kata singkat, “Betul Pak Kiai, rekayasa dan pemelintiran hukum marak dilakukan oknum aparat”.

Berawal dari dialog singkat itu, saya merasa perlu berbagi ilmu hukum dengan siapapun - khususnya penstudi sosiologi hukum - perihal rekayasa dan pemelitiran hukum.

Hemat saya, nomenklatur rekayasa hukum dan pemelintiran hukum, tidak dikenal dalam ilmu hukum, tetapi muncul di dalam praktik. Sementara itu nomenklatur rekayasa sosial, tersurat dalam ungkapan, berbunyi: “law as a tool of social engineering and social control” (hukum sebagai alat rekayasa sosial dan pengendalian sosial).

Baca Juga: Partai Nasdem resmi usung Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024-2029

Ajaran ini berasal dari Roscoe Pound, seorang hakim agung Amerika Serikat. Menurut beliau, hukum (termasuk vonis hakim) dibuat dengan tujuan untuk merekayasa anggota masyarakat (termasuk terpidana), agar menjadi lebih baik. Katakanlah, seseorang pernah menjadi kriminal (penjahat), setelah diadili, divonis, dan menjalani sanksi hukuman, diharapkan dia dapat kembali menjadi orang-orang baik, diterima dan berguna bagi masyarakat.

Agar tujuan itu dapat dicapai, substansi hukum harus berisi tatanan moralitas. Diperlukan pula perubahan wawasan masyarakat terhadap hukum. Hukum diadakan demi terwujudnya keadilan. Keadilan, merupakan lambang keharmonisan kehidupan bersama, dan penghargaan martabat anggota-anggotanya. Contoh fenomenalnya, Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1954, yang menetapkan bahwa orang kulit hitam harus dipersamakan dengan orang kulit putih.

Begawan sosiologi hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo (1993) menyatakan bahwa “law as a tool of social engineering and social control”, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan, dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak perlu lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru, dan sebagainya.

Baca Juga: Sikapi tragedi Kanjuruhan, warga Muhammadiyah Surabaya adakan salat gaib

Tokoh hukum lain, Muchtar Kusumaatmadja (1978) menjabarkan ajaran Roscoe Pound ke dalam konteks Indonesia, sebagai sarana pembangunan. Asumsi dasarnya, bahwa ketertiban dalam pembangunan merupakan sesuatu hal penting, dan sangat diperlukan. Hukum sebagai tata kaidah, dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan warga masyarakat, ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut.

Catatan kritis atas ajaran Roscoe Pound dikemukakan Daniel S. Lev (1996). Dinyatakan bahwa kredo “law as a tool of social engineering and social control”, dapat digunakan untuk tujuan baik, dan dapat pula  untuk  tujuan buruk. Dalam ranah prosedural maupun materiil, tidaklah mudah mempertemukan konsepsi yang sama antara pemerintah dan masyarakat tentang perubahaan yang diinginkan. Kekuasaan pemerintah sering dominan. Implikasinya, perubahan masyarakat (bangsa) berlangsung secara top-down, dan bersifat elitis. Sulit ditemukan suatu perubahan berkarakter populis.

Dengan kata lain, ajaran yang terkesan netral dan mulia tersebut, bisa berbelok, berputar-putar, atau berbalik arah, ketika dimain-mainkan oleh kekuasaan. Pada praktik demikian, permainan hukum dapat berbentuk pemelintiran hukum.

Baca Juga: KPK bantah ada kepentingan politik dalam penanganan kasus Formula E, begini penjelasannya

Pemelintiran hukum adalah upaya pemilinan hukum hingga terpintal, terulas, melingkar-lingkar. Hukum tidak lagi sebagai benang-benang merah yang lurus dan terurai, melainkan menjadi tata kaidah berbelit-belit. Logika hukum dijungkir-balikan secara akrobatik. Kebenaran berada pada ranah tafsir subjektif penguasa. Sungguh sulit (pusing) bagi masyarakat untuk memahaminya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X