Oleh: Sudjito Atmoredjo
PEMERINTAH secara resmi telah memperpanjang status pandemi Covid-19 di Indonesia. Tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2021, tertanggal 31 Desember 2021.
Kebijakan ini, ditetapkan berdasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain: (1). Pernyataan World Health Organization (WHO) bahwa pandemi Covid-19, merupakan Global Pandemic, secara faktual masih terjadi, dan belum berakhir; (2). Perintah Mahkamah Konstitusi (MK), saat pembacaaan Putusan atas gugatan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tentang UU Nomor 2 Tahun 2020 (atau dikenal dengan Perppu Corona).
Dalam Putusan MK itu dinyatakan bahwa dengan persetujuan DPR, Pemerintah diharuskan mengumumkan status pandemi COVID-19 pada akhir tahun kedua sejak status itu dibuat; (3). Pada hari Minggu (2/1/2021), Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan tambahan kasus Covid-19 di tanah air, sebanyak 174 kasus. Dengan begitu, total terkonfirmasi mencapai 4.263.168 kasus. Jumlah ini, ternyata dari hari ke hari terus meningkat.
Baca Juga: Omicron Punya Gejala Khas yang Hanya Muncul di Malam Hari, Begini Gejalanya
Kebijakan dilematis dan tidak popular itu, secara legal dan kemanusiaan dapat dibenarkan. Walau demikian, berbagai implikasinya, dipastikan mengganggu kenormalan, kenyamanan, dan kelancaran roda kehidupan negara, bangsa, maupun masyarakat. Hemat saya, paling tidak, beberapa implikasi di bawah ini, mesti diwaspadai bersama.
Pertama: implikasi terhadap pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan, tetap didasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2O2O tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O2O tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.
Pada UU itu terdapat pasal krusial, yakni Pasal Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020, bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Baca Juga: PTM di Tengah Hadirnya Varian Omicron, Ini Rekomendasi Terbaru IDAI
Pasal krusial ini dapat dijadikan pintu bagi oknum-oknum penguasa atau pejabat KKSK, (OJK, BI, dan pejabat Kementerian Keuangan) untuk korupsi. Mereka paham, dengan Pasal itu, kejahatannya sulit dibuktikan. Pelakunya, sulit ditangkap. Seolah dirinya kebal hukum. Mereka tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana, maupun pengadilan tata usaha negara (PTUN). Dalihnya, tindakan yang dilakukannya didasarkan pada itikad baik. Kalau ada kerugian, bukanlah tergolong kerugian negara.
Sungguh, menjadi amat berat tugas pengawasan dan penegakan hukum pada wilayah kebijakan keuangan negara seperti ini.
Kedua, implikasi pengalokasian anggaran pendapatan dan belanja negara. Pengalokasian, harus melalui proses legislasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk dalam rangka menyetujui pengalokasian anggaran serta penentuan batas defisit anggaran guna penanganan pandemi Covid-19, beserta dampaknya, dan mendapatkan pertimbangan dari DPRD; dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Pada ranah ini, tugas-tugas dan proses legislasi di Pusat maupun Daerah, mesti ditingkatkan kinerjanya, agar pada satu sisi tidak terjadi defisit, dan pada sisi lain, anggaran yang telah disetujui dapat diserap penggunaannya, sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, utamanya mereka yang terdampak Covid-19.
Baca Juga: Kasus Omicron di Inggris Meluas, dalam Seminggu 18 Ribu Nakes Terinfeksi
Ketiga, implikasi dalam rangka penanganan, pengendalian, dan/atau pencegahan pandemi Covid-19 beserta dampaknya, khususnya di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial. Secara politis dan yuridis, Pemerintah dapat (dipastikan, pen.) menetapkan hybrid (bauran) kebijakan, melalui penetapan skema pendanaan antara Pemerintah dengan Badan Usaha yang bergerak di bidang pembiayaan pelayanan kesehatan, dan skema lainnya.