Skema ini, secara empiris dan politis, rawan dengan pembelokan ke dalam praktik bisnis pelayanan kesehatan, alat kesehatan, tabung oksigen, obat-obatan, tes antigen, tes Polymerase Chain Reaction (PCR), bahkan hingga persewaan ruang karantina. Amat disesalkan ketika pejabat-pejabat publik (dan keluarganya) terlibat dalam binis pendemi Covid-19, tetapi tidak ada sanksi hukum tegas ditimpakan kepadanya.
Keempat, implikasi legislatif, utamanya terkait dengan Putusan MK terhadap gugatan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Oleh MK telah diputuskan bahwa UU Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat, selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan. Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional secara parmanen.
Baca Juga: Cara Cegah Omicron, Masyarakat Jangan Melakukan Perjalanan Internasional
Ke depan, amat dikhawatirkan, dengan dalih masih pandemi Covid-19, perbaikan UU Cipta Kerja dilakukan tanpa kejelasan, tanpa konsistensi, dan tanpa transparansi tentang aspek formal (metode) perbaikannya, maupun aspek substansi (isi). Padahal penting diperhatikan bahwa asas keterbukaan pada publik, tidak boleh diabaikan. Masyarakat tidak boleh dihalang-halangi untuk senantiasa terlibat dalam proses perbaikan UU tersebut. Penghadangan oleh aparat terhadap anggota masyarakat yang berjuang untuk dilibatkan dalam perbaikan UU Cipta Kerja tidak boleh lagi terjadi.
Kelima, implikasi terhadap kebijakan strategis. Masih terkait dengan Putusan MK di atas, Pemerintah dilarang (mesti menangguhkan) segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis, dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru, yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Hingga saat ini, masih dipertanyakan, apa kriteria kebijakan strategis itu? Dikarenakan tidak ada penjelasan resmi (dan karenanya tidak kepastian hukum), maka amat dikhawatirkan, akan terjadi tarik-ulur, penafsiran sepihak, dan tindakan lain, yang muaranya terjadi pembenaran terhadap kebijakan apapun yang ditetapkan Pemerintah, walaupun sejatinya sarat dengan kepentingan para oligarki.
Baca Juga: WHO Khawatir Penyebaran Varian Delta dan Omicron Secara Bersamaan Ciptakan Tsunami Kasus Covid-19
Keenam, implikasi sosial, berupa kepanikan. Sungguh tidak mudah, memahami dan menerjemahkan Keppres No. 24 Tahun 202 di ranah sosiologis-empris. Dari tayangan televisi, telah dicoba dihadirkan berbagai pihak (pemerintah, pakar, tokoh masyarakat, dan lain-lain) untuk memberikan penjelasan maupun respons atas pemberlakuan Keppres tersebut.
Implisit, terlihat ada kesimpang-siuran, disharmonis, bahkan kepanikan pada berbagai level. Ambil contoh, masalah Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
Telah beredar informasi bahwa Semester Genap Tahun Ajaran 2021/2022, dimulai tanggal 3 Januari 2022. PTM dapat dilaksanakan 100 persen. Dasarnya, SKB 4 Menteri tertanggal 21 Desember 2021 dengan Nomor 05/KB/2021, Nomor 1347 Tahun 2021, Nomor HK.01.08/Menkes/6678/2021, dan Nomor 443-5847 Tahun 2021.
Merujuk pada SKB 4 Menteri itu, pelaksanaan PTM pada satuan pendidikan di wilayah kategori Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1 dan 2, berbeda dengan di wilayah PPKM level level 3 dan 4. Berbagai perbedaan ini masih marak sebagai realitas sosial serba rumit. Tampaknya, sosialisasi SKN 4 Menteri tersebut belum berhasil. Berbagai kegagapan, berubah menjadi kegaduhan, hingga kepanikan.
Baca Juga: Penambahan Kasus Omicron Masih Didominasi WNI dari Luar Negeri, Menkes Terbitkan Surat Edaran
Varian Omicron (dikenal pula sebagai hasil varian B.1.1.529) merupakan mutasi Covid-19. Oleh WHO, Omicron diklasifikasikan sebagai Varian of Concern (VOC). Merupakan varian virus yang harus diwaspadai. Bagimana mewaspadai dan menyikapi secara bijak? Inilah pekerjaan rumah bersama. Semoga Allah SWT berkenan mengakhiri pandemi Covid-19 (dan segala variannya), dan melindungi kita semua dari musihah karena bencana ini. Wallahu’alam.
*)Prof Dr Sudjito SH MSi, Guru Besar Ilmu Hukum UGM.