“Di Pekalongan, ada ungkapan yang cukup ironis: ‘Kalau sungainya hitam, berarti batiknya laku.’ Artinya, ketika sungai tercemar limbah pewarna, ekonomi justru dianggap sedang bagus. Ini paradoks,” terang Karina.
Dalam upaya menjawab tantangan lingkungan, komunitasnya bekerja sama dengan LSM Dian Desa untuk membangun instalasi pengolahan air limbah sederhana.
“Langkah kecil ini menjadi bukti bahwa batik bisa berkelanjutan tanpa harus merusak lingkungan,” tandasnya.
Dari beragam pandangan yang disampaikan dalam forum tersebut menegaskan satu benang merah: batik adalah identitas yang hidup. Ia hadir dalam tarian, dalam doa, dalam perjuangan ekonomi, dan dalam keseharian masyarakat yang terus beradaptasi dengan zaman. *