Batik sebagai identitas Bangsa: Dari tradisi, spiritualitas, hingga keberlanjutan

photo author
- Sabtu, 1 November 2025 | 16:00 WIB
Forum “Kajian Seni dan Masyarakat” yang digelar Program Doktor Kajian Seni dan Masyarakat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (31/10). (MERAPI - WAHYU TURI K)
Forum “Kajian Seni dan Masyarakat” yang digelar Program Doktor Kajian Seni dan Masyarakat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (31/10). (MERAPI - WAHYU TURI K)

“Beberapa hari yang lalu ada Kirab Trunojoyo. Semua penarinya laki-laki, dan mereka mengenakan kain batik. Itu contoh bahwa batik juga menjadi ekspresi kegagahan dan cinta,” kata Romo Bandar.

Menurutnya, nilai budaya batik tidak hanya tampak di atas panggung, tetapi juga hidup dalam proses di baliknya. Ia mengingatkan bahwa setiap pertunjukan selalu ditopang oleh kerja keras banyak pihak yang jarang terlihat.

“Biasanya kita hanya memperhatikan yang tampil di depan, padahal yang bekerja di balik panggung juga penting. Di situlah budaya itu hidup,” katanya.

Namun, Romo Banar juga menyadari bahwa budaya selalu mengalami perubahan. Dulu, batik dan kebaya menjadi busana sehari-hari perempuan. Kini, keduanya lebih sering digunakan pada upacara atau perayaan khusus. Menurutnya, batik bukan simbol yang beku. Ia hidup, tumbuh, dan dapat menyesuaikan diri dengan konteks zaman.

“Perubahan itu wajar. Yang penting, nilai-nilai di dalamnya jangan hilang,” ujarnya.

Sementara itu, desainer batik sekaligus pendiri Apip’s Batik Yogyakarta, Afif Syakur, menghadirkan sudut pandang dari sisi pelaku dan pewaris tradisi. Sebagai generasi keempat pengrajin batik asal Pekalongan, Afif telah menekuni dunia batik sejak 1990 dan menjadikannya bagian dari perjalanan hidup.

“Saya dulu sempat iri ketika Yogyakarta dinobatkan sebagai Kota Batik Dunia. Tetapi kemudian saya sadar, di sini memang ada aspek filosofis dan keilmuan batik yang sangat kuat. Dari situ saya semakin mencintai batik,” terang Afif.

Bagi dirinya, proses membatik bukan sekadar kerja tangan, melainkan perenungan spiritual.

“Banyak pembatik melakukannya sambil berdoa, bersenandung, atau berselawat. Karena itu, batik menjadi karya yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat makna,” katanya.

Ia menegaskan bahwa batik tidak seharusnya dipandang semata sebagai komoditas ekonomi.

“Kalau batik hanya dijual seperti tekstil biasa, maka maknanya hilang. Saya selalu bilang kepada pelanggan: jangan hanya membeli batik, tapi pesanlah batik. Dengan memesan, terjalin hubungan batin antara pembatik dan pemakai,” ucapnya.

Menurut Afif, setiap motif batik menyimpan filosofi yang mendalam, mengikuti perjalanan hidup manusia Jawa, dari kelahiran hingga kematian. Namun, ia juga menyoroti tantangan besar yang kini dihadapi dunia batik, yakni maraknya batik printing.

“Itu bukan batik, melainkan tekstil bermotif batik. Tidak ada proses malam panas, tidak ada tangan pembatik di sana,” imbuhnya.

Pandangan berbeda datang dari Karina Rima, perwakilan dari PBBI Sekar Jagad Yogyakarta, yang menyoroti dimensi sosial dan lingkungan dalam industri batik. Ia memaparkan data bahwa industri batik menyerap sekitar 200 ribu tenaga kerja di lebih dari 47 ribu unit usaha, sebagian besar dalam bentuk usaha kecil dan menengah (UKM).

Namun, di balik angka tersebut, terdapat tiga persoalan utama, antara lain limbah, ketimpangan upah, dan pemberdayaan perempuan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Swasto Dayanto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB
X