HARIAN MERAPI - Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) bersama CIRAD menyelengarakan kegiatan Summer Course pada 25-29 Juni 2024 dengan mengundang para dosen, peneliti dan praktisi dan mahasiswa dari Malaysia, Vietnam, Filipina dan Indonesia guna memperdalam pengetahuan, keterampilan dan kompetensi dalam pengelolaan lanskap berkelanjutan di Gunungkidul.
Kabupaten Gunungkidul yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan karst, rentan tetapi memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologis untuk menyangga system kehidupan masyarakat.
Selain pemanfaatan sumberdaya berbasis lahan di dalam kelompok pertanian-kehutanan (Agroforestry), inisiatif wisata ramah lingkungan juga mulai pesat dikembangkan di Gunungkidul dan mendapat respons yang sangat baik dari warga DIY dan sekitarnya.
Di sisi lain, wisata Gunungkidul telah dicirikan juga oleh hadirnya investor swasta, yang kemudian menjadi konstelasi menarik ketika dihadapkan dengan wisata yang dikelola komunitas. Summer Course ini sekaligus menjadi bagian dari promosi perkembangan pembangungan dan kehidupan masyarakat cerdas, yang diharapkan dapat diterapkan dan diperkaya skemanya di daerah lain di Indonesia maupun di Asia Tenggara.
Proffesor of Watershed Management, Faculty of Agric. Industrial Technology, Universitas Padjajaran, Prof. Chay Asdak mengatakan, secara umum kawasan karst ditentukan oleh 2 hal, yaitu landscape yang berada di permukaan, dan geological aspek, yakni retakan-retakan vertikal dan horizontal di bawah landscape yang menjadi jalan masuk air hujan.
Kondisi landscape ini tentu berpengaruh terhadap air yang masuk ke dalam tanah. Jika kondisi landscape tanah kosong tanpa tetumbuhan, maka air yang akan masuk ke dalam tanah sangat minim.
Baca Juga: Telegram sudah respons penghapusan judi online, bagaimana dengan platform yang lain?
“Kalau dilihat dari sisi produksi pertanian mungkin tidak menjanjikan karena karst hanyalah gundukan batu besar, hanya bisa ditanam singkong. Tetapi kalau dilihat bahwa di dalamnya ada tandon-tandon air, ada sungai-sungai kecil, di situlah kehidupan ditentukan,” kata Prof. Chay, Kamis (27/6).
Baginya sangat menarik di mana masyarakat di Gunungkidul memahami sistem kehidupan daerah berbasis ekosistem karst, salah satunya dengan vegetasi. Masyarakat Gunungkidul dengan segala keterbatasan yang disebabkan kawasan karst terus berupaya untuk melampauinya dan menjadikan kehidupan mereka berkelanjutan.
“Masyarakat secara arif mencari lokasi yang flat dan bertahan di situ. Tidak mengambil resiko bertahan di kawasan yang sensitif. Mereka paham betul apa yang dihadapi, kapan dan di mana harus menanam,” terangnya.
Baca Juga: Menkominfo Ungkap Pelaku Serangan Siber PDNS 2 Aktor Non Negara dengan Motif Ekonomi
Meskipun masyarakat lokal dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut, menurutnya jika investor masuk ke Gunungkidul perlu memahami kondisi geoligical dan dapat memetakan daerah mana untuk dapat digunakan untuk pembangunan.
“Mungkin perlu ada upaya intensif agar masyarakat bisa berprogres dan berinovasi. Air bisa dipertahankan ada, kegiatan-kegiatan inovatif yang berbasis lahan bisa dilakukan. Di satu sisi mendatangkan uang, tapi jika salah langkah bisa mendatangkan masalah,” tegasnya.
“Jika ingin membuat sebuah ecotourism, maka harus ditunjukkan sebuah aksi konservasi yang nyata. Segala harus jelas. Ecotourism harus bermanfaat untuk masyarakat setempat,” imbuhnya.