HARIANMERAPI.COM - Keris merupakan warisan leluhur bangsa Nusantara yang hingga detik ini tetap lestari. Keris telah membuktikan bahwa ia mampu menahan "hantaman" arus modernisasi, dalam bentuk dan narasi apapun.
Selama ini, keris masih dikaitkan dengan hal mistis, supranatural, kuno, sehingga dinilai tidak layak untuk digeluti oleh generasi muda, apalagi kaum milenial.
Bahkan, keris telah masuk dalam bagian narasi negatif dalam kacamata agama. Keris dianggap sebagai benda yang membawa kita pada kemusyrikan atau tindakan menyekutukan Tuhan.
Baca Juga: Misteri Keris Mpu Gandring 1: Ditemukan di Sungai Brantas, Pemiliknya Ingin Keris Tetap Sinengker
Pokoknya, sangat lengkap konotasi negatif yang dilekatkan pada benda yang terbuat dari besi dan baja, kadang dengan campuran batu meteor itu.
Para pencinta keris menggelar sarasehan sebagai upaya untuk melestarikan budaya adiluhung Nusantara itu pada Sabtu (30/7/2022).
"Sarasehan Budaya dan Gelar Tosan Aji" yang digelar oleh Paguyuban Tosan Aji Singowulung, Bondowoso, Jawa Timur, itu menghadirkan Wakil Bupati Bondowoso Irwan Bachtiar dan pecinta keris Rachmad Resmiyanto, yang juga dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai pembicara.
Baca Juga: Tosan aji pedang, punya pamor seperti keris, tampilannya garang
Sebagaimana dilansir dari Antara, bagi orang Jawa masa dulu, bahkan "Jawi" (sebutan untuk Nusantara kuno), keris adalah perangkat diri yang tidak terpisahkan dalam keseharian. Keris selalu membersamai warga masyarakat di manapun berada. Keris tidak beda dengan perangkat telepon seluler atau ponsel bagi masyarakat modern saat ini.
Kalau saat ini satu orang bisa memiliki lebih dari satu ponsel, leluhur Nusantara dulu minimal memiliki tiga keris, yakni pemberian dari orang tua, pemberian dari mertua bagi yang sudah menikah, dan dari dirinya atau seseorang yang dianggap sebagai guru.
Dalam konteks inilah, keris bagi masyarakat Nusantara kuno dianggap memiliki tuah atau masyarakat mengenalnya sebagai "yoni".
Baca Juga: Bulan Suro saatnya jamasan pusaka, simak cara ini agar keris gilap tanpa keropos
Rupanya ihwal inilah yang kemudian memunculkan tuduhan bahwa kalau memiliki keris, kita bisa dituduh jatuh pada syirik.
Kalau negara atau perusahaan mengabadikan doa dalam simbol tertentu (burung yang gagah atau benda-benda langit), mengapa tidak dikatakan syirik? Bukankah dalam simbol-simbol itu tersimpan harapan dan doa? Ini juga termasuk simbol-simbol warna yang di dalamnya juga tertanam energi doa.