Kesempatan Umrah Terbuka Lagi

photo author
- Minggu, 9 Januari 2022 | 05:12 WIB
Prof  Dr Sudjito SH MSi (Dok Pribadi)
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok Pribadi)


Dalam sebuah disertasi di UIN Sunan Kalijaga terungkap, di zaman penjajahan, Christiaan Snouck Hurgronje dan Martin Van Bruinessen, pernah melakukan kajian tentang ritual haji kaum muslim Indonesia. Dari sudut pandang sekuler, diperoleh pemahaman bahwa ibadah haji itu dilakukan untuk memperoleh kehormatan, menuntut ilmu, rasa kecewa dalam urusan dunia, dan kejenuhan hidup sehari-hari yang telah dirasakan (Sucipto, 2013).


Serupa dengan hasil kajian itu, fenomena sosial hari-hari ini, sering memperlihatkan, ada umrah yang dilakukan atas dasar motif, semangat, dan niat menggapai kebututuhan-kebutuhan materi-duniawi. Umrahnya para politisi, demi kemenangan dalam Pemilu, Pileg, atau Pilkada. Umrahnya para selebritis, demi popularitas.


Umrahnya pebisnis demi keuntungan finansial. Umrahnya anak-anak muda, sekadar untuk menambah pengalaman. Umrahnya jomblo, agar segera mendapatkan jodoh. Umrahnya orang-orang tua, karena khawatir sisa umurnya tidak cukup untuk menunaikan haji. Dan lain-lain. Indikasi ketersesatan niat seperti contoh-contoh di atas, perlu dikoreksi. Niat murni umrah, adalah ibadah, semata-mata karena dan demi ridha Allah SWT. Itulah, niat umrah yang benar.

Baca Juga: Bagaimana Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam? Berikut Penjelasan Ustadz Muhammad Al-Habsyi


Untuk penyelenggara ibadah umrah, kiranya layak diingatkan bahwa pengaruh masyarakat komoditas (commodity society) terhadap umrah tidak mungkin dihindari. Pengaruh-pengaruh tersebut dijelaskan oleh Theodor W Adorno (dalam Sucipto, 2013), antara lain sebagai berikut:


Pertama, penyelenggara umrah rentan terpeleset dalam memposisikan calon-calon konsumen sebagai komoditas. Pelayanan dilakukan demi profit. Kepuasan konsumen, menjadi parameter pelayanan.


Kedua, dalam penyelenggaraan umrah, muncul kecenderungan ke arah konsentrasi kapital, terselubungnya operasi pasar bebas, demi keuntungan produksi, dan penjualan barang-barang distandarisasi. Segalanya seolah menjadi simbol kesalehan orang-orang yang telah umrah.

Baca Juga: Dilarang Mendoakan Jelek untuk Orang yang Menyakiti, Kata Ustadz Adi Hidayat Ini yang Dilakukan Jika Dizolimi


Ketiga, kekuatan-kekuatan produksi sering membelenggu masyarakat komoditas, sehingga muncullah “masyarakat sarat dengan antagonisme” (full of antagonisms society). Antagonisme ini meluas, dari wilayah ekonomi (economic sphere) hingga wilayah budaya (cultural sphere). Orang kaya, rentan pamer bisa umrah berkali-kali, dan diberi pelayanan istimewa. Orang-orang berkasta, memiliki jabatan publik, atau berada pada klas sosial tinggi, menjadi sasaran iklan penyelenggara umrah.


Keempat, tak bisa dielakkan, globalisme, berpengaruh terhadap umrah. Umrah menjadi bukti pernah ke luar negeri, menjelajahi dunia, dan bertemu manusia lain dari seluruh penjuru. Umrah menjadi gaya hidup (life style) kelas sosial tertentu. Gaya hidup dikonotasikan dengan individualitas, ekspresi diri, kesadaran diri untuk lebih stylish. Umrah identik dengan globalisasi penampilan, berbusana, bicara, pemanfaatan waktu, pilihan makanan, minuman, rumah, kendaraaan, liburan, dan lain-lainnya.


Semua pengaruh commodity society dalam umrah perlu disikapi secara bijak dan Islami. Umrah, sebagai ibadah yang disyariatkan Islam, akan terselenggara dan berjalan baik, bila semua pihak menggunakan ilmu, planning, dan menejemen yang baik. Benang merah antara niat dan kemabruran umrah, dapat dilihat pada penerjemahan nilai-nilai ibadah, berupa perilaku yang sarat dengan amal-amal saleh. Umrah sebagai haji kecil, dikatakan mabrur bila ada tanda-tanda dan implikasi positif dalam kehidupan sosial.

Baca Juga: Resep Dicintai Allah SWT dan Manusia, ini Kata Ustadz Syafiq Riza Basalamah


Siapapun akan dan pernah umrah, layak berusaha mengamalkan nasihat bijak seorang cendekiawan muslim berikut: “Jadikanlah negerimu sebuah negeri yang aman, karena engkau telah pulang dari tanah Haram; Jadikanlah zamanmu zaman yang mulia seolah-olah engkau tetap berada di dalam keadaan Ihram; Jadikanlah dunia ini seakan menjadi masjid suci karena engkau telah pulang dari Masjid al-Haram; Seharusnyalah seluruh permukaan bumi ini merupakan masjid Allah.” Wallahu’alam.

 

*)Prof Dr Sudjito SH MSi, Guru Besar Ilmu Hukum UGM.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X