Baca Juga: Propam Polres Sukoharjo Operasi Gaktiplin, ini sasaran yang dibidik
Suudzon, adalah penyakit qalbu. Virusnya ada di mana-mana. Setiap kejadian, berpotensi menghadirkan sikap suudzon. Bila virus itu terus bertambah, menumpuk, menggunung, maka penyakit qalbu menjadi akut. Qalbu, seolah buah kedondong. Luarnya halus, tetapi berduri dalamnya. Seolah batu karang, tiada rongga (pintu) masuknya hidayah Ilahi. Setiap kejadian selalu dilihat sisi negatifnya, tanpa melihat sisi positifnya. Objektivitas dilalaikan, sementara subjektivitas dikedepankan.
Kedua, di darat dan di laut, mengapa banyak terjadi kerusakan? Pada ranah sosiologis, ada ungkapan Ubi Societas Ibi Ius. Artinya, di situ ada masyarakat, di situ ada hukum. Ungkapan ini berasal dari filsuf, ahli hukum, dan ahli politik - Marcus Tullius Cicero (106-43 SM).
Pemikiran asasi ungkapan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia itu makhluk sosial (Zoon Poloticon). Dalam interkasi sosial, ada hukum yang berlaku, dan wajib ditaati bersama. Sayang, hukum-hukum itu dilanggar, sehingga terjadi berbagai kerusakan
Etika/moral, adalah inti dari hukum. Karenanya, ada pesan etik/moral, agar ketaatan pada hukum termotivasi karena pertimbangan-pertimbangan dari qalbu.
Atas dasar kesadaran. Janganlah taat hukum karena hitung-hitungan akal, karena terpaksa, atau karena dipaksa oleh aparat. Kehidupan bersama, perlu dikelola secara holistik, demi kebahagiaan bersama.
Dalam kehidupan bersama, sedemikian banyak kebutuhan-kebutuhan materi-duniawi. Idealnya, semuanya terpenuhi, tanpa mengurangi tercukupinya kebutuhan masing-masing individu. Di situlah, luas dan dalamnya lautan kehidupan, diarungi bersama. Deburan ombak, asam garam, dan manisnya kehidupan, mesti dihadapi bersama. Segalanya (pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum), pasti berbuah kebahagiaan, bila dikelola berdasarkan niat suci. Diawali dari olah qalbu, berlanjut ke pengendalian nafsu (hasrat), dan dimaksimalkan dengan kecerdasan akal, serta ketrampilan raga.
Ada ungkapan: qalbu adalah malikul a’dhoo (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan adalah junuduhu (tentaranya). Maknanya, kebersihan jiwa, menjadi variable penentu terhadap rona kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa, secara keseluruhan. Rasulullah saw bersabda: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (qalbu)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Apalah artinya predikat sebagai negara hukum, bila kondisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negeri ini, tidak baik-baik saja. Marak kejahatan, marak keangkuhan, suka pamer harta-benda, dan kekuasaan. Ketimpangan sosial-ekonomi semakin melebar. Sumberdaya alam dan fasilitas umum tergadaikan pada pihak asing.
Dicermati seksama, rusaknya qalbu, merupakan awal dan sebab utama, terjerumusnya warga negara dan penyelenggara negara tertentu, kedalam kemaksiatan dan keharaman. Tanpa hati-nurani, dengan suara lantang, dan mulut berbusa-busa, mereka berkata: “fiat justitia ruat caelum”, artinya tegakkan keadilan, walaupun langit runtuh.
Abu Waras urung mandi di laut. Masih belepotan noda dan dosa. Sadar, tanpa dukungan kebersihan jiwa, orasi itu sulit dipercaya. Salam Pancasila. Sehat. Bahagia.
*) Guru Besar Ilmu Hukum UGM