INDONESIA merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia sebagian besar adalah lautan dengan kekayaan dan hasil laut yang sangat melimpah. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia, khususnya dalam pengelolaan dan pengawasan perpajakan pada semua pemangku kepentingan di sektor laut dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya untuk mendukung optimalisasi penerimaan pajak.
Optimalisasi pajak di sektor laut dapat menjadi strategi yang kompleks, akan tetapi menjadi hal yang penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam sektor ini.
Baca Juga: Survei Indikator Politik: Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap DJP Naik Jadi 83,7 Persen
Beberapa hal dapat dipertimbangkan dalam optimalisasi pajak pada sektor laut antara lain:
- Pengenaan Pajak yang Adil: Pajak yang dikenakan haruslah adil dan seimbang untuk semua pemangku kepentingan di sektor laut, termasuk perusahaan perikanan, industri pelayaran, pariwisata laut, dan sektor lainnya.
- Insentif Pajak: Pemerintah bisa memberikan Insentif pajak, seperti pemberian fasilitas dibebaskan pajak dan untuk investasi yang mendukung pengembangan sektor laut, seperti pembangunan infrastruktur pelabuhan, kapal, atau fasilitas penangkapan ikan yang berkelanjutan.
- Penegakan Hukum: Melalui pengenaan pajak dan insentif pajak, pemerintah dapat mendorong penegakan hukum yang ketat terhadap praktik ilegal berdasarkan undang-undang dan aturan terkait di sektor laut.
- Evaluasi dan Penyesuaian: Pemerintah harus secara teratur mengevaluasi kebijakan perpajakan yang ada di sektor laut dan bersedia untuk menyesuaikan kebijakan tersebut sesuai dengan perubahan dalam industri dan lingkungan ekonomi.
Insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah salah satunya adalah pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas Impor Alat Pembeku Ikan pada Perusahaan Penangkapan Ikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2025 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Baca Juga: OJK Proyeksikan Aset Dana Pensiun Tumbuh 10-12 Persen pada Tahun 2024
Impor Alat Pembeku Ikan dapat menjadi bagian penting dalam Industri Perikanan yang berkembang, beberapa hal yang dapat dipertimbangkan atas Impor Alat Pembeku Ikan antara lain:
- Kualitas: Memastikan bahwa alat pembeku ikan yang diimpor memenuhi standar kualitas yang diperlukan untuk menjaga kualitas ikan yang dibekukan dan keselamatan pangan.
- Efisiensi Energi: Memilih alat pembeku ikan yang efisien dalam penggunaan energi dapat membantu mengurangi biaya operasional dan dampak lingkungan.
- Kapasitas Produksi: Memilih alat pembeku ikan dengan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan produksi perusahaan dapat meningkatkan efisiensi operasional dan menghindari kelebihan kapasitas yang tidak diperlukan.
- Ketersediaan Suku Cadang: Memastikan ketersediaan suku cadang dan layanan purna jual yang memadai untuk alat pembeku ikan yang diimpor sangat penting untuk meminimalkan gangguan produksi.
- Kepatuhan Regulasi: Memastikan bahwa alat pembeku ikan yang diimpor mematuhi semua regulasi dan persyaratan yang berlaku dalam negara yang bersangkutan, termasuk regulasi lingkungan, keselamatan, dan ketahanan pangan.
- Biaya dan Tarif Impor: Memperhitungkan biaya impor, termasuk tarif dan pajak yang berlaku, dalam perencanaan anggaran untuk impor alat pembeku ikan.
- Inovasi Teknologi: Memperhatikan inovasi terbaru dalam teknologi pembekuan ikan yang dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produksi.
- Jaminan Ketersediaan Ikan: Menggunakan alat pembeku ikan yang efektif dapat membantu memastikan ketersediaan ikan yang stabil sepanjang tahun, terutama untuk industri yang mengandalkan impor ikan beku sebagai bahan baku.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, Perusahaan Penangkapan Ikan dapat membuat keputusan yang tepat dalam memilih alat pembeku ikan yang akan diimpor untuk mendukung operasi mereka dengan cara yang efisien dan berkelanjutan.
Adapun pengajuan insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah salah satunya seperti contoh di atas pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas Impor Alat Pembeku Ikan pada Perusahaan Penangkapan Ikan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 48 Tahun 2020. Pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas Impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan Pasal 1 ayat (2) huruf a menggunakan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai (SKB PPN).
Atas SKB PPN yang telah diterbitkan kepada PKP yang menghasilkan BKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan: (a) penggantian, baik berdasarkan permohonan maupun secara jabatan; dan/atau (b) pembatalan atau pencabutan SKB PPN secara jabatan (pasal 2 Ayat (3)).
Dalam Pasal 2 Ayat (7) disebutkan bahwa Terhadap impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik yang telah memperoleh fasilitas pembebasan PPN dengan menggunakan SKB PPN, namun atas: (a) SKB PPN tersebut dilakukan penggantian; (b) SKB PPN tersebut dilakukan pembatalan; (c) SKB PPN tersebut dilakukan pencabutan; atau (d) Mesin dan Peralatan pabrik tersebut digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat impor dan/atau perolehan. PPN terutang menjadi wajib dibayar oleh PKP yang menghasilkan BKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC.
Adapun syarat-syarat pengajuan SKB PPN antara lain:
- Mesin dan peralatan pabrik yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan BKP di bagian produksi, dari mulai dilakukannya proses pengubahan bentuk atau sifat suatu barang sampai dengan barang baru atau barang yang mempunyai daya guna baru terwujud, tidak termasuk kegiatan mempertahankan atau mengubah kualitas dan kegiatan transmisi atau distribusi (Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (2) huruf a).
- Mesin dan Peralatan pabrik tersebut: diimpor secara langsung oleh PKP yang menghasilkan BKP; atau Penyedia Pekerjaan EPC sebagai bagian dari kontrak Pekerjaan EPC dengan Pemilik Proyek yang menghasilkan BKP, dan PKP atau Pemilik Proyek tersebut telah mengajukan permohonan dan memperoleh fasilitas pembebasan Bea Masuk dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a; atau tidak mengajukan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b.
- PKP atau Penyedia Pekerjaan EPC harus memiliki SKB PPN yang dilampiri RKIP yang telah disetujui: sebelum pemberitahuan pabean dalam rangka impor barang diajukan dan/atau penyerahan dilakukan; atau sebelum penerimaan pembayaran oleh PKP penjual dalam hal pembayaran mendahului penyerahan (Pasal 6 Ayat (2)).
- Untuk memperoleh SKB PPN atas impor Mesin dan Peralatan pabrik yang juga diajukan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk PKP harus terlebih dahulu memiliki Masterlist (Pasal 10 Ayat (1)). PKP atau Pemilik Proyek yang telah memperoleh Masterlist dapat mengajukan permohonan SKB PPN kepada Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik melalui SINSW (Sistem Indonesia National Single Window), segera setelah Masterlist diterbitkan melalui sistem informasi yang disediakan oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 10 Ayat (6) Permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan dengan melengkapi informasi dan memilih Mesin dan Peralatan pabrik yang diajukan permohonan fasilitas pembebasan PPN dari Masterlist sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (Pasal 10 Ayat (4)).
Selain tersebut di atas persyaratan yang harus dipenuhi oleh PKP sesuai Pasal 10 Ayat (5) Permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti apabila PKP: