SITUASI kehidupan bernegara sedang tidak baik-baik saja. Berbagai persoalan ada di seluruh penjuru kehidupan. Contoh: utang Negara berjibun. Seluruh komponen bangsa - termasuk anak-cucu - terbebani untuk pelunasannya. Tidak sedikit, oknum pejabat public, tak peduli terhadap nasib bangsanya.
Mereka terang-terangan berbuat jahat. Melakukan penindasan terhadap rakyat. Masyarakat adat digusur. Katanya, demi investasi asing. Korupsi marak terjadi di lembaga-lembaga Negara (DPR, BPK, Kemenkeu, Kementan, Kemensos, dan lain-lain). Contoh-contoh lain, banyak macam-ragamnya. Berserakan di sekitar kita.
Dalam perspektif teori struktur (structure theory), “Rumah Negara” ini tergolong rusak. Hampir roboh. Kerusakan ada pada fondasi, maupun pilar-pilarnya. Bahkan, kerusakan terjadi pada seluruh asesori, perabotnya. “Rayap-rayap”, menggerogoti dari dalam. Para penghuninya sering terlibat dalam perseteruan, persaingan. Sering bertengkar. Bentrok. Perilakunya, tak ubahnya serigala. Saling menterkam. Homo homini lupus.
Baca Juga: Anak Anies dan anak Ganjar berhak terjun ke dunia politik, begini kata mereka
Kerusakan “Rumah Negara”, terjadi karena ulah, sikap, dan perilaku oknum-oknum penyelenggara Negara. Mereka tidak memiliki integritas. Tuna etika dan moral. Tidak professional. Ilmunya dangkal. Wawasannya sempit. Apa yang dipikirkan dan diperbuat, sebatas untuk kehidupan duniawi. Jangkauannya, jangka pendek. Lima tahunan saja. Mereka lalai terhadap cita-cita dan hakikat kehidupan bernegara yang sebenarnya.
Dalam situasi tidak baik-baik saja itu, bila kita lengah, tidak/kurang waspada, pasti diri dan/atau keluarga kita, rentan terjebak dalam lingkaran anomali kehidupan. Terkena imbas kerusakan Negara itu. Oleh karenanya, kepada saudara-saudaraku yang masih tergolong sehat-waras, senantiasa berjalan di jalan lurus, layak diingatkan, perihal pentingnya menjaga jati-diri, sekaligus menjaga keluarga masing-masing.
Ajaran suci, berbunyi: “Yā ayyuhallażīna āmanụ qū anfusakum wa ahlīkum nāraw …”. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS at-Tahrim, ayat 6).
Dalam konteks bernegara, khususnya di tahun politik, ajaran suci tersebut, hendaknya dipahami dan diaktualisasikan sebagai sikap dan perilaku konkret.
Baca Juga: Terkait debat capres, TKN Prabowo-Gibran: hanya panelis yang berhak mengkritisi, ini alasannya
Pertama, setiap orang hendaknya sadar, bahwa jati-dirinya adalah subjek hukum (rechtspersoon). Pada dirinya melekat kewajiban dan hak. Kewajibannya adalah tunduk, dan taat pada hukum-hukum Allah swt. Bila kewajiban telah ditunaikan maka pasti hak-haknya, akan hadir secara serta-merta (otomatis). Bahkan, kebahagiaan yang diperolehnya, lebih besar daripada pengorbanan (susah-payah) yang dilakukan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban. Di situlah, rahmat Allah swt., jauh lebih besar, dibanding amal-perbuatan manusia.
Kedua, hukum Allah swt. itu hukum terbaik. Sempurna. Tiada cacat barang sedikitpun. Daripadanya, bila ditegakkan sunggguh-sungguh, pasti lahir keadilan substantif. Bukan sekedar keadilan formal. Oleh karena itu, mestinya, hukum-hukum Negara, dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan sesuai dengan hukum Allah swt. Contoh: dalam pembuatan Undang-undang. Dimulai dengan menyebut “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.
Vonis hakim, diberi irah-irah: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seterusnya, proses dan produk perundang-undangan, maupun peradilan, diuji kebenarannya terhadap hukum Allah swt., itu. Jangan sekali-kali hukum sebagai produk politik, dijadikan sebagai hukum tandingan, bahkan pengganti hukum Allah SWT. Hukum sekuler itu sesat. Bertentangan dengan Pancasila. Mestinya, tidak boleh ada.
Baca Juga: Inilah prestasi BNN Sumsel, sejak Januari hingga November sita 200 kg sabu, begini kasusnya