Hukum dan Perawatan Jati-Diri

photo author
- Minggu, 10 Desember 2023 | 11:00 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)

Ketiga, dalam fitrahnya, pada jiwa (roh) setiap manusia itu suci, murni, bersih. Sebelum roh dimasukkan ke dalam jasad (raga), roh itu telah bersumpah bahwa Allah swt. adalah tuhannya. Sumpah itu terpateri dalam kitab suci: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (roh) mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya saat itu kami lengah terhadap ini. (QS al-A’raf ayat 172).

Berpangkal pada sumpah suci itu maka ketauhidan bertuhan, wajib dijaga dan dirawat sepanjang hayat. Kehidupan yang rentan mempertuhankan jabatan, pangkat, kedudukan, kekayaan, dan perhiasan duniawi lainnya, mesti dilawan, ditepis, dihalau, dengan sumpah suci tersebut. Jaga baik-baik fitrah roh. Jangan sampai, fitrah roh yang suci, ternodai, terkontaminasi, oleh kotornya debu-debu dan racun duniawi.

Keempat, kesucian roh, mesti diisi dengan amalan-amalan saleh. Suatu amalan dikategorikan saleh, bila didasarkan niat suci (tulus, ikhlas) karena Allah swt., dan dilakukan sesuai dengan hukum-hukum (syariat) Allah swt. Sebaik-baik bekal pertanggungjawaban di hari akhir kelak, adalah amal saleh. Sungguh celaka, rugi, dan pasti menyesal, bila amal salehnya ringan (sedikit), sebaliknya amal salah/kejahatannya banyak (berat).

Baca Juga: Polda Sumut bongkar kasus perdagangan ginjal, tiga tersangka masih diburu, ini kasusnya

Wujud konkret amal saleh antara lain: kontribusi (pemikiran, sikap, dan perilaku) demi tercapainya cita-cita bernegara. Contoh: memberikan perlindungan terhadap sesama komponen bangsa, agar kokoh berdaulat atas tanah-airnya, sekaligus berupaya mewujudkan keadilan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat.

Kelima, tanggungjawab pribadi sebagaimana terurai pada empat poin di atas, lebih lanjut diluaskan penjabarannya ke ranah keluarga (family). Keluarga dalam arti sempit beranggotakan suami, isteri, dan anak. Mereka harus diselamatkan. Jangan sampai terkena imbas (menjadi korban) ganasnya arus politik praktis. Perhatian utama mesti tertuju pada keselamatan keluarga.

Ketika situasi sudah normal, jalinan dan interaksi antar keluarga perlu dirajut  kembali. Demi peningkatan martabat dan kehamornisan kehidupan bersama. Masyarakat (society) sebagai komponen bangsa (nation), perlu saling mengenal, saling berbagi, saling melengkapi, bersatu, dan berkontribusi, membangun Negara (state).

Baca Juga: Kecelakaan di jalur Cino Mati Bantul, kendaraan terguling akibatkan 1 orang meninggal, 9 luka, begini kondisinya

Ajaran suci telah memberikan arahan dan sinar pencerahan: “Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ, inna akramakum 'indallāhi atqākum, innallāha 'alīmun khabīr”. Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti." (QS al-Hujurat, ayat 13).

Sejurus dengan pesan moralitas-religius di atas, wajib diingat pula bahwa Allah swt., tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan nasab, dinasti, keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya. Orang yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah swt., hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Sungguh keliru, sesat, seseorang yng memandang kemuliaan selalu ditentukan dan bertumpu pada nasab, dinasti, keturunan, dan kekayaan.

Melalui interaksi pansubjektivitas (saling menghormati sebagai subjek), gotong-royong, holopis kunthul baris, dapat diyakini, Negara dapat dikelola dengan baik. Situasi yang tidak baik-baik saja, dapat (wajib) diubah menjadi baik-baik saja. Situasi chaos dapat diubah menjadi tertib, teratur, damai. Kuncinya: selalu ingat, berkomitmen, bertanggungjawab, kembali ke jati-diri sebagai abdillah dan sekaligus sebagai kalifatullah. Itulah, penuntun dan pendorong bagi bangsa Indonesia, untuk bangkit, bersemangat membangun, dan memperbaiki hukum, politik, budaya, ekonomi, dan segala umba rampe, sekaligus memajukan negaranya.

Baca Juga: Event Industri Pariwisata Berbasis Cluster Shibori dan Jumputan On The Street 2023 digelar di Tahunan Umbulharjo

Wallahu’alam. Salam Pancasila. Sehat. Bahagia *

 

*) Guru Besar Ilmu Hukum UGM

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X