Masjid Agung Surakarta sebagaimana arsitektur masjid tua di Jawa, merupakan bangunan tajuk dengan atap bertumpang tiga.
Sepintas, atap yang bertumpang tiga tersebut mirip bangunan Masjid Demak hasil karya para sunan pada tahun 1478 Masehi.
Atap bertumpang tiga yang merupakan atap ruang sholat utama Masjid Agung Surakarta melambangkan tiga pokok ajaran Islam.
Pertama, adalah Iman yang berarti meyakini adanya Tuhan. Kedua, Islam yang merujuk pada Rukun Islam dan Rukun Iman, dan ketiga Ikhsan.
Dengan luas bangunan 19.180 meter persegi, Masjid Agung Surakarta memiliki serambi dengan bangunan semacam lorong yang menjorok ke depan atau tratag rambat.
Ruang sholat utama ditopang oleh empat saka guru dan duabelas saka rawa, dengan mihrab atau ruang pengimanan, lengkap dengan mimbar tempat berkotbah.
Baca Juga: Pamor dari batu meteor jadi tanda keris sepuh, lambang manunggaling kawulo kelawan Gusti
Ruang sholat putri juga tersedia, serta padasan yang terpisah antara kaum putri dan putra.
Pada masa Sunan PB VIII di tahun 1858 Masehi, masjid tersebut dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan pagar keliling.
Lalu, pada masa Sunan PB X, menara adzan setinggi 25 meter didirikan dengan bantuan Belanda.
Menara dengan tangga melingkar berbahan besi yang didatangkan dari negeri Holland itu dinilai bercorak bangunan Timur Tengah.
Sementara itu, dua bedug dan kentongan Masjid Agung Surakarta tidak diberi nama. Namun, bedug masjid besar itu menurut abdi dalem Keraton Solo punya berkah tertentu.
Dipercaya, seseorang yang tidur di bawah bedug akan mendapat mimpi yang mengarahkan pada keberuntungan hidup.
Bedug peninggalan Sunan PB X di Masjid Agung Surakarta itu, hingga kini juga masih ditabuh untuk mengumandangkan tanda tiba waktu sholat atau menjelang adzan. *