Semula, batas maksimal belanja SDM ditetapkan 45 persen dari total pendapatan operasional rumah sakit. Namun angka tersebut dinilai belum cukup untuk memenuhi ekspektasi pegawai.
"Pendapatan kita itu di angka Rp124 miliar dalam waktu satu bulan. Seharusnya idealnya di angka Rp140 miliar. Kalau kita mengikuti pakem 45 persen, hasilnya ternyata tidak memuaskan,” ujar Eniarti.
Atas kondisi itu, pihak rumah sakit meminta izin kepada Kemenkes untuk membuka proporsi belanja SDM hingga 48 persen.
Baca Juga: Usung Konsep Cygar Lounge, Taru Martani Kembangkan Bisnis Baru Resto & Jogja Lounge di Pabrik Cerutu
"Kita keluar dari pakem. Tadinya maksimal 45 persen, kita meminta izin kepada Dirjen. 'Pak Dirjen, tolong izinkan kami, walaupun nanti itu (indikatornya) akan merah, kami akan buka di angka 48 persen'," lanjutnya.
Menurut Eniarti, kebijakan tersebut diterapkan menyeluruh, mencakup seluruh unsur SDM di RSUP Dr Sardjito, mulai dari direksi, dewan pengawas, hingga seluruh pegawai.
Dengan membuka belanja SDM hingga 48 persen, rumah sakit memiliki ruang lebih besar dalam penghitungan THR insentif.
"Contohnya, kalau kita pakai 45 persen, pegawai hanya menerima Rp2 juta. Tapi kalau kita pakai 48 persen, mereka bisa menerima Rp3,5 juta hingga Rp4,5 juta. Nilainya tidak sama, karena disesuaikan dengan posisi dan grade jabatan masing-masing," jelasnya.
Ia juga memastikan penyesuaian skema insentif telah disepakati bersama perwakilan komite-komite internal rumah sakit, mulai dari komite medik, keperawatan, tenaga kesehatan, hingga non-medis.
Sebelumnya, RSUP Dr Sardjito telah menyalurkan THR gaji dan tunjangan melekat kepada 3.129 pegawai pada 18 Maret 2025 yang terdiri dari 1.808 PNS, 413 PPPK, dan 908 pegawai BLU non-ASN.
THR di rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan memang diberikan dalam dua komponen, yakni THR gaji dan THR insentif, dengan komponen insentif bersumber dari dana PNBP BLU dan bersifat fleksibel sesuai kemampuan rumah sakit. *