CIREBON, harianmerapi.com - Nampaknya pandemi Covid-19 tidak bisa menghentikan rasa keingintahuan pemudik untuk berkeliling dan merasakan makanan lokal yang khas dari sebuah daerah yang disinggahi.
Berbicara mengenai makanan lokal, memang sangat menarik dan asyik bila dirasakan bersama keluarga atau teman dekat. Makanan yang disajikan dengan memanfaatkan bahan lokal terbaik, mampu menghasilkan cita rasa khas dan membuat hati menjadi hangat.
Contoh saja Empal Gentong Haji Apud. Siapa yang tidak mengenal makanan hasil perpaduan gurihnya santan dan empuknya daging sapi lokal pilihan ini.
Baca Juga: Kane Tanaka, Orang Tertua di Dunia Berpulang pada Usia 119 Tahun
Memasuki tiga tahun masa pandemi Covid-19, masih lekat dia di hati para pemudik.
“Saya singgah di Cirebon untuk mudik sambil berbuka puasa. Kebetulan nih, teman saya yang rekomendasiin. Wajib coba Empal Gentong katanya,” ujar Ahmad (32) salah satu pemudik dari Cikarang, Bekasi.
Rumah bagi primadona Cirebon itu pada mulanya berdiri atas dasar ketertarikan sang pemilik, Haji Apud pada Empal Gentong saja. Ketertarikannya, berhasil membujuk hati kecilnya untuk membuka sebuah usaha dengan memanfaatkan fasilitas seadanya.
Mulai didirikan pada tahun 1994, Empal Gentong Haji Apud dijual hanya dengan menggunakan satu gerobak dan satu kursi saja. Sederhana memang, tapi cita rasanya mampu diacungi lima jempol sekaligus.
Baca Juga: Giorgio Chiellini Pensiun Bela Timnas Italia Setelah Laga Terakhir Melawan Argentina
Tahun demi tahun, dari gerobak kecil, Haji Apud berhasil mengembangkan usahanya dalam skala yang lebih besar. Dia mendirikan sebuah tempat di sepetak tanah yang dimiliki dan terus tumbuh besar hingga sekarang.
Pengelolanya di masa ini, Nia Kenia mengatakan cita rasa dari makanan mereka dapat berbeda dari yang lain karena adanya peran daging sapi lokal yang berasal dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di wilayahnya.
Daging-daging yang kenyal dan empuk tanpa impor itu, dimasak oleh pihaknya saat itu juga. Satu kwintal daging datang pada hari-hari biasa, sedangkan dua hingga dua setengah kwintal daging datang pada hari libur seperti saat mudik.
Tidak ada kata daging beku, ucap Nia.
Baca Juga: Ini Motif Bule Kanada Bikin Video Asusila di Gunung Batur Bali
Semua daging yang datang, harus langsung diolah dan habis hari itu juga.
Bagi pemudik yang singgah, mungkin sudah bisa menebak seperti apa rasanya.
Daging yang dipotong dalam bentuk dadu berukuran kecil, direndam bersama kuah santan berwarna kekuningan yang gurih dan panas.
Visualnya juga semakin memikat mata setelah ditaburi hijaunya irisan daun bawang.
Belum lengkap rasanya bila tidak dikunyah bersama garingnya kerupuk. Bagi pecinta pedas, bubuk cabai dalam mangkuk kecil berwarna merah dapat membantu untuk mendapatkan rasa sedap yang lebih menggugah selera.
Baca Juga: Real Madrid Mungkin Tak Turunkan Casemiro dan David Alaba di Etihad, Ini Alasannya
Satu mangkuk Empal Gentong di tempat itu dihargai Rp25 ribu saja. Namun, sepertinya akan kurang nikmat bila tidak ditemani dengan manis dan lezatnya sate kambing muda yang dihargai Rp60 ribu atau sate sapi seharga Rp70 ribu.
Di bulan Ramadhan, mereka bahkan hanya mampu buka dari pukul 09.00 hingga 21.00 WIB saja.
Namun nampaknya tidak dengan tahun ini. ANTARA di lokasi melihat, banyak pemudik yang memenuhi tempat makan itu sambil menikmati Empal Gentong.