Peradaban Versus Kekerasan

photo author
- Jumat, 29 Juli 2022 | 07:30 WIB
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok pribadi)
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok pribadi)


Oleh: Sudjito Atmoredjo*

TELAH ke sekian kali, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan keprihatinan atas merebaknya kekerasan di kota budaya ini. Sejak beberapa tahun lalu, ketika ada kekerasan anak-anak remaja berlabel klithih. Ketika kekerasan antaretnis dari belahan timur Indonesia di Babarsari, terulang-ulang. Kali ini ketika suporter sepakbola dari luar kota, berbuat onar, kekerasan, dan baku hantam di wilayah DIY.


Peringatan Sultan HB X itu, sebenarnya mewakili aspirasi dan rasa keresahan warganya. Artinya, warga DIY, ingin hidup damai, berbudaya, berperadaban. Kekerasan telah sekian lama (bertahun-tahun), sering terjadi secara sporadis, mengakibatkan situasi mencekam. Bukan saja di malam hari, melainkan juga pada siang hari. Situasi kelam-mencekam seperti itu harus diakhiri.


Satu hal yang absurd, bahwa berbagai kekerasan itu, tidak jelas sebab-musababnya. Bahkan tidak jelas pula sasarannya. Beberapa kejadian menunjukkan bahwa antara pelaku dan korban, ternyata tidak saling kenal. Dalam kasus-kasus demikian, betapa sedih dan duka saudara kita dan keluarga korban. Mereka, orang-orang baik, tak bersalah, memiliki masa depan, tetapi menjadi korban, karena salah sasaran. Masyarakat pun sedih, ketika fasilitas-fasilitas umum dirusak, ikut dijadikan sasaran kemarahan.

Baca Juga: Kader Partai Golkar akan polisikan Ketua Umum KNPI terkait pencemaran terhadap Airlangga Hartarto


Dari beberapa kasus, terungkap bahwa kejahatan dilakukan sebagai iseng belaka. Sebagian lain karena dendam. Bahkan kasus bentrok antar suporter sepakbola hanya karena kata-kata kasar yang diunggah di media sosial. Segala sebab-musabab tersebut, tergolong remeh-temeh. Bagi orang waras, sehat akal budinya, memiliki rasa kemanusiaan, mestinya tidak layak direspons dengan kekerasan fisik.


Sultan HB X telah memberikan keteladanan, betapa bijak dan santun dalam merespons kekerasan itu. "Saya selalu mengingatkan jangan melakukan kekerasan. Kita perlu membangun peradaban yang santun, bisa menghargai orang lain”, katanya. Diyakini bahwa warga Jogja bisa menjaga etika dan sopan santun dalam berkomunikasi dengan masyarakat yang memiliki beragam latar belakang. Komunikasi sosial berbudaya - baik horizontal maupun vertikal - amat penting dijadikan perilaku keseharian. Itulah wujud masyarakat berperadaban tinggi.


Hemat saya, membangun masyarakat berperadaban tinggi perlu menjadi komitmen semua pihak. Beberapa persyaratan wajib dipenuhi. Pertama, tanamkan keimanan, ketaqwaan, moralitas-religius sejak dini. Keluarga menjadi garda terdepan untuk urusan ini. Ulama, rohaniwan, lembaga-lembaga keagamaan, dan lembaga pendidikan, bertanggung jawab untuk keberhasilannya. Pada anak-anak yang terdidik moralitas-religiusnya, pastilah sikapnya sopan, santun, ramah dan peduli terhadap sesama. Pantang bagi mereka bersikap kasar, apalagi bertindak kekerasan.

Baca Juga: Kasus kematian brigadir J jadi momentum bagi Polri untuk peroleh kepercayaan publik, ini syaratnya!


Kedua, berikan kesempatan, peluang, dan dorongan, agar setiap warga tergerak untuk berlomba-lomba dalam kebajikan. Secara kreatif dan inovatif, mampu memanfaatkan melimpahnya informasi dan canggihnya teknologi, untuk melahirkan program atau produk-produk baru. Telah terbukti, banyak warga yang survive menghadapi zaman baru serba digital. Apa yang didapatkannya bukan sekadar keuntungan finansial, melainkan kontribusi nyata bagi kehidupan bersama, seperti: terbukanya lapangan kerja baru. Mereka rame ing gawe, sepi ing kanistan.


Ketiga, proteksi segenap warga dari derasnya arus aliran sesat, sikap hedonis, karakter materialis, dan tabiat lebiralis. Sejujurnya harus diakui bahwa seiring dengan tampilnya demokrasi liberal, maraknya perilaku politik praktis nir moral, dan lajunya sistem perekonomian kapitalis, keseluruhannya berpengaruh buruk secara signifikan terhadap perilaku warga masyarakat. Kegarangannya, keberingasannya, tidak jarang, dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan politik, kemapanan posisi (jabatan), ataupun keberlangsungan usaha.


Keempat, kaji ulang sistem kehidupan yang didesain oleh kaum elite serba instan, serba teknologis, serba berorientasi keduniawian. Wawasan kehidupan perlu diperluas, dikembalikan pada otentiknya. Sesungguhnya, kehidupan di dunia, hanyalah permainan dan senda gurau. Kehidupan di negeri akhirat, jauh lebih baik dan kekal. Wawasan demikian, berlaku bagi orang-orang bertaqwa, dan perlu disosialisasikan, serta dipahamkan seksama kepada masyarakat luas.

Baca Juga: Pak Sajim menuju peristirahatan terakhir diantar dengan gerobak sapi, kenapa tidak dengan mobil jenazah?

Belajarlah dari nasib dan kesudahanan mereka yang sering bersenang-senang, berfoya-foya dengan harta, popularitas, dan kekuasaan. Agama dan hukum diingkari. Bahkan dijadikan alat permainan, tameng, dan sarana untuk mengamankan kejahatannya. Kesudahannya adalah kehinaan, di dunia dan diakhirat.


Ketika manusia-manusia beradab tampil sebagai pemimpin, pengelola, dan pengendali kehidupan bermasyarakat/berbangsa, dapat dipastikan, kekerasan serta-merta tergerus, tergeser, dan terkikis habis. Keprihatian Sultan HB X atas kekerasan di DIY, kiranya perlu ditindaklanjuti dengan upaya-upaya konkret dalam bingkai empat persyaratan di atas. Wallahu’alam.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X