Oleh: Sudjito Atmoredjo*
MANTAN Walikota Yogyakarta terjerat kasus suap-menyuap perizinan mendirikan bangunan apartemen Royal Kedhaton di Kawasan Malioboro. Terindikasi, persyaratan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dilanggar. Mengapakah hal ini terjadi? Benarkah pengurusan IMB sulit, berbelit, dan mahal, sehingga perlu diperlancar dengan suap?
Persepsi masyarakat tentang buruknya pelayanan IMB memang telah menggurita. Karena malapraktik birokrasi, seakan pelayanan publik berwarna hitam. Senantiasa berkelindan dengan maraknya pungutan biaya ilegal, suap, gratifikasi, dan sejenisnya. Persepsi dan warna hitam itu, perlu diputihkan, dinetralkan, dan dinormalkan, melalui pembenahan perilaku jahat oknum-oknumnya. Pengalaman pribadi, terurai singkat di bawah ini, kiranya dapat dijadikan kaca benggala, dan pembelajaran dalam pengurusan IMB.
Bermula dari keinginan untuk membangun dan memiliki rumah secara legal, agar rumah bisa menjadi baiti jannati, maka pada tahun 1986, saya urus IMB. Berbagai persyaratan dan prosedur (walaupun berbelit) saya penuhi. Terbitlah IMB dimaksud. Gratis.
Baca Juga: Kisah Perang Makassar Lawan VOC 6: Heran Ternyata di Gudang Menemukan Bedil dan 5 Meriam
Tahun 2006 terjadi gempa. Rumah retak-retak. Dua tahun sejak itu, rekonstruksi dilakukan. Rekonstruksi berjalan lancar, tanpa diwajibkan ada IMB baru.
Tahun 2021, rumah perlu direkonstruksi lagi, agar sesuai kebutuhan. IMB lama, ternyata ketlingsut. Dicari tidak ketemu. Arsip di Pemda pun tidak ditemukan. Wajar, karena waktu itu segalanya masih manual.
Pemda mewajibkan, agar IMB baru diurus. Sesuai peraturan baru, IMB diurus melalui online. Dibumbui liku-liku dan kerikil tajam, IMB terbit dalam waktu tak begitu lama. Gratis. Sama sekali tidak ada pembiayaan, baik legal maupun illegal.
Baca Juga: Wapres Ma'ruf Amin Saamaikan Ucapkan Belasungkawa pada Ridwan Kamil Lewat Panggilan Video
Memang, ketika rekonstruksi dimulai, tiba-tiba didatangi petugas berseragam. Beberapa kali kedatangannya, dengan wajah kurang bersahabat. Terkesan sebagai penguasa yang bisa memaksakan kehendaknya. Diperintahkan untuk datang ke kantor Kelurahan, Kecamatan, hingga ke Pemda, dengan berbagai arahan atau pilihan.
Dari sikap dan kata-katanya, tersirat adanya keinginan agar oknum-oknum petugas itu diberi uang amplop. Tetapi, persepsi suuzon demikian, segera saya jauhkan. Melalui cara online, hingga bolak-balik ke Pemda, terpaksa saya lakukan. Ujungnya, IMB terbit. Gratis.
Suatu kenyataan, bahwa pada saat hampir bersamaan, tetangga ada yang ingin merekonstruksi rumahnya juga. Betapapun berbagai material disiapkan, karena IMB tidak diurus, maka petugas lapangan menghentikannya. Hingga sekarang, rekonstruksi batal, urung dilakukan.
Baca Juga: Jemaah Calon Haji Indonesia Kloter 1 Tiba di Madinah, Disambut Khusus dalam Suasana Haru
Suatu kebetulan, tetangga sebelah lainnya, juga ingin merekonstruksi rumahnya. Dia tahu dan trauma, bahwa persyaratan dan prosedurnya rumit. Lebih-lebih di wilayah Kotagede. Aspek budaya menjadi penting diperhatikan. Tak sembarang material, design, ataupun bentuk rumah diizinkan.
Segalanya, wajib disesuaikan dengan karakteristik budaya setempat.
Tetangga ini, merasa kesulitan memenuhi persyaratan dimaksud. Keterbatasan biaya, dan pengaruh kesan negatif sulitnya pengurusan IMB, menjadikan suap-menyuap tak terhindarkan. Melalui tawar-menawar, akhirnya kesepakatan uang suap dicapai dalam jumlah tertentu, dan besar. Sejak itu, rekonstruksi berjalan lancar. Tak lagi ada oknum petugas lapangan hadir. Inilah malapraktik birokrasi, praktik ilegal.