Oleh: Dr. TM. Luthfi Yazid, SH, LL.M
AGUS Harimurti Yudhoyono (AHY) mengutip tulisan saya dalam twitternya sebagai berikut: ”AD/ART adalah sifatnya kesepakatan internal Partai Politik. Sedangkan yang dapat di-Judicial Review (JR) adalah regulasi yang dibuat otoritas resmi untuk kepentingan umum”.
Kutipan tersebut diambil dari tulisan saya yang berjudul “Sengkarut AD/ART: Yusril Vs Partai Demokrat” yang dimuat berbagai media. Tulisan itu dibuat guna memberikan catatan kritis atas permohonan Yusril Ihza Mahendra (YIM) mewakili 4 orang kliennya yang mengajukan Judicial Review (JR), materiale toetsingsrecht, formile toetsingsrecht ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat Tahun 2020.
Untuk memperkaya khasanah intelektual kita dalam diskusi ini, saya ingin menegaskan kembali landasan fundamental dan teoritik atas pengajuan JR oleh YIM dan timnya, yakni menjabarkan lebih detil bahwa permohonan JR AD/ART tersebut adalah sebuah paradox. Kata “paradox” dalam Oxford Dictionary of Synonyms and Antonyms (1999) adalah sebuah kata benda (noun) yang berarti absurdity, anomaly, contradiction, inconsistency atau self-contradiction. Ada lima alasan mengapa dikatakan sebagai paradox.
Baca Juga: Amandemen UUD 1945 Harus Menjamin Terpenuhinya Setiap Hak Asasi Yang Dimiliki Oleh Warga Negara
Pertama, secara core substance, norma hukum dibuat oleh otoritas resmi yang memuat sanksi dan bersifat publik. Lon L Fuller dalam The Morality of Law (1963) menjelaskan bahwa salah satu di antara 8 persyaratan untuk dapat dikatakan sebagai norma hukum haruslah berlaku secara umum. Fuller menambahkan, a failure to publish atau tiadanya keberlakuan yang sifatnya publik, akan menyebabkan sebuah aturan tidak dapat disebut sebagai norma hukum.
Kedua, AD/ART sebuah Partai Politik hanyalah sebuah perikatan, sebuah kesepakatan yang dibuat oleh civilian members. Artinya, yang membuat kesepakatan dalam AD/ART itu ialah para pihak dan tidak melibatkan negara (no state involvement). Dalam konteks Partai Politik, yang membuat kesepakatan dalam AD/ART adalah anggota Partai Politik dalam sebuah Kongres, Munas atau apapun istilahnya yang merupakan kekuasaan tertinggi dari pengambilan keputusan/kesepakatan partai.
Kesepakatan itu sebagai bentuk dari kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, menyamakan sebuah kesepakatan dalam AD/ART dengan sebuah norma hukum,-- meminjam istilah Dov M.Gabbay dan John Woods (2010) dalam tulisannya yang berjudul Relevance in the Law—disebut legally irrelevant testimony.
Baca Juga: UUD 1945 Tak Atur Detail Soal Tanggal Pelaksanaan Pemilu, Simak Analis Politik Undip
Ketiga, Pasal 28 UUD NRI 1945 menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Artinya, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, berpartai politik adalah hak fundamental (the fundamental rights) yang dilindungi oleh konstitusi. Kedudukan UU Partai Politik sudah seharusnya memberikan proteksi yang lebih kuat atas jaminan konstitusional. Sebab itu, jika UU Partai Politik bertentangan dengan UUD NRI 1945-- sebagian maupun seluruhnya-- maka dapat diajukan permohonan JR ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibatalkan.
Keempat, dalam permohonan JR yang diajukan YIM, sebagai Termohon adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Jika Termohonnya adalah Menkumham, maka seharusnya yang digugat adalah produk Menkumham yakni Surat Keputusan Menkumham yang memberikan pengesahan, verifikasi dan validasi atas AD/ART Partai Demokrat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.