opini

Keadilan Sebagai Nilai Kemanusiaan

Minggu, 23 Juli 2023 | 08:30 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo *)

Seorang sahabat datang ke rumah. Selain untuk silaturahmi, ada permasalahan yang disampaikan, untuk dicari dan diperoleh solusinya. Melalui diskusi, diharapkan suasana kelam yang dialaminya, dapat ditemukan cahaya terang, untuk pencerahan kehidupannya.

Singkat cerita. Sahabat ini tergolong manusia lanjut usia. Sudah purna tugas. Disadarinya, suatu saat, ajal akan menjemputnya. Kapan? Hanya Ilahi Rabbi yang tahu dan memiliki otoritas menentapkannya. Kini, dirinya sedang mempersiapkan sebaik-baik bekal untuk menghadap-Nya. Salah satunya, anak-anak saleh yang tetap rukun. Untuk itulah harta yang dimiliknya, dicoba dibagi secara adil, dituangkan dalam testamen/wasiat.

Ternyata niat baik itu ada batu sandungannya. Ada di antara anaknya merasa kurang banyak bagiannya. Penjelasan dari pelbagai sudut pandang telah diberikan. Musyawarah pun dilakukan demi tercapainya kesepakatan. Melalui cara-cara yang tergolong religius dan Pancasilais, itupun gagal. Akibatnya, suasana kelam terus berkelanjutan. Bak benang kusut. Sungguh tak mudah diurai dan ditenun menjadi kain halus.

Baca Juga: Periode Muktamar ke-48, pimpinan daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah Sukoharjo dikukuhkan

Pada hemat saya, permasalahan sahabat ini erat kaitannya dengan masalah keadilan. Ini masalah kemanusiaan. Sudah ada sejak anak Adam as.: Habil dan Qabil. Keduanya bersoal calon-calon isterinya. Dalam persepsi subjektif Qabil, dirinya merasa diperlakukan tidak adil. Dipersoalkan, mengapa dirinya dijodohkan dengan saudaranya yang berparas buruk. Tragis. Permasalahan berlanjut hingga terjadi pembunuhan oleh Qabil terhadap Habil.

Pada masa-masa selanjutnya hingga saat ini, persoalan keadilan acapkali terjadi karena perebutan wanita, harta, dan tahta. Ketiga hal tersebut dipandang seolah menjadi kunci kebahagiaan. Padahal kemilaunya materi-duniawi hanyalah fatamorgana. Bersifat sementara. Kebahagiaan sejati dan kekal, justru di akhirat kelak. Itulah maka kehidupan di muka bumi mestinya dijalani sebagai musafir. Bukan sebagai penghuni tetap, selama-lamanya.

Seorang agamawan mencermati, dalam kitab suci Al-Qur’an, keadilan disebut 28 kali, dalam tiga kata berbeda, yakni: al-adl, al-qisti, dan al-mizan. Penyebutan itu sangat kontekstual. Pilihan kata yang digunakan, berkesesuaian dengan ruang, waktu, dan peristiwa atau masalahnya.

Baca Juga: Bersamaan puncak El Nino, petani Sukoharjo minta pintu air dam Colo tahun ini tidak ditutup

Tokoh agama bernama Yusuf Qardawi dalam buku “Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah” (terj.), menyatakan bahwa adil dalam pengertian umum (general) adalah “memberikan kepada siapapun yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, dalam nilai apapun, tanpa melebihi atau mengurangi hak orang lain”. Dalam perjalanan waktu, pengertian umum ini mengalami perubahan-perubahan, utamanya terkait dengan persoalan-persoalan khusus. Itulah maka, definisi keadilan berkembang, menjadi beraneka ragam, tidak lagi general melainkan menjadi spesifik dan kontekstual.

Keadilan itu sedemikian penting artinya bagi setiap manusia. Allah SWT mengutus para Rasul untuk membenahi akhlak manusia. Keadilan merupakan bagian penting dari hakikat akhlak. Demi misinya, yakni terwujudnya manusia berakhlak mulia (akhlaqul mahmudah), utusan-utusan itu diberi bukti-bukti nyata, berupa kisah-kisah dan peninggalan umat terdahulu, sekaligus tuntunan, ukuran, penjelasan tentang keadilan dalam kitab-kitab suci, maupun mizan (neraca keadilan).

Segalanya dan seluruhnya merupakan teks-teks yang perlu dibaca, dianalisis, dan diambil hikmahnya, agar makna keadilan dapat ditangkap secara utuh. Itu semua demi manusia, agar siapapun mereka, dapat melaksanakan keadilan, memberikan keadilan, dan memperoleh keadilan sejati.

Khusus kepada manusia-manusia yang telah beriman, kepada mereka diperintahkan untuk senantiasa menjaga jati dirinya sebagai penegak keadilan sejati, karena dan demi Allah. Dalam konteks Indonesia, perintah ini telah dijabarkan oleh ilmuwan/ahli hukum menjadi irah-irah vonis hakim, dan irah-irah peraturan perundang-undangan.

Baca Juga: Tujuh pembelajaran tentang pendidikan nilai dalam keluarga, di antaranya pentingnya beribadah

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB