opini

Hidup Bernegara, Mengalir dalam Kesejatian

Jumat, 22 November 2024 | 16:50 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

“Air mengalir sampai jauh. Akhirnya ke laut”. Itulah sepenggal bait dari lagu Bengawan Solo, karya Gesang. Lagu itu amat terkenal. Bahkan dikagumi oleh orang-orang Jepang. Hemat saya, keelokan lagu ini, bukan sekadar pada irama, langgam, dan bait-bait yang puitis, melainkan jauh lebih bermakna pada kandungan pesan moralnya.

Pada ranah filsafat dikenal ungkapan Pantha Rei Kai Uden Menei. Terjemahannya, semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Ungkapan filsuf Heraklitos itu seakan telah menjadi dogma kehidupan.

Intinya, bila seseorang, atau umat, atau suatu bangsa, ingin hidup damai, maka bersikaplah secara bijak, sebagaimana air mengalir. Air mengalir melalui sungai, menuju laut luas. Setiap detik, air yang  mengalir di sungai itu pasti berganti. Mengalir adalah berproses aktual-dinamis. Senantiasa mencari celah, agar laju alirannya tidak ada hambatan. Dinamika proses kehidupan merupakan seni, kenikmatan, dan keberkahan. Oleh karenanya, hindari kebuntuan/kemandegan alirannya, agar air tak menggenang. Sebab pada genangan air, rentan muncul berbagai penyakit, baik penyakit fisik, maupun penyakit mentalitas/spiritual.

Baca Juga: Demo Warga Natah di DPRD Gunungkidul Tuntut Audit Dana Desa dan Perbaikan Birokrasi

Ditarik ke ranah sosiologis-empiris, ternyata tak semua air mengalir dengan lancar. Manusia, dan alam, dapat hidup damai, bahagia, subur, makmur, ketika aliran air lancar dan proporsional. Akan tetapi, teramat sering, karena derasnya hujan, sungai tak mampu menampung. Maka terjadilah banjir. Sering pula, saluran alir tersumbat oleh berbagai sampah. Akibatnya, terjadi genangan air. Masih banyak dinamika negatif aliran air, hingga secara ekstrem merusak tata kehidupan.

Pakar hukum alam berpandangan bahwa air sebagai bagian dari alam semesta, senantiasa berada dalam keseimbangan. Artinya, keberadaan dan mengalirnya air, berkesesuaian dengan situasi dan kondisi riil. Lancar ataukah randatnya aliran, tidak bisa dipersalahkan pada air atau alam, melainkan ada pada faktor eksternal, utamanya perilaku manusia.

Adalah kewajiban setiap manusia sebagai kalifatullah di planet bumi, untuk senantiasa berbuat terbaik, demi keharmonisan kehidupan bersama semua makhluk. Kewajiban ini, ternyata tak mudah dilaksanakan. Begitu banyak godaannya. Godaan terbesar berasal dari nafsu-duniawi.

Dalam filsafat anthroposentrisme misalnya, manusia adalah subjek kehidupan. Maka, manusia dibenarkan berperilaku macam apapun terhadap bumi, air, ruang-angkasa, tambang, dan lain-lainnya, untuk pemenuhan nafsu-duniawinya. Imbasnya, alam diobjekan, dikorbankan, dan dibiarkan rusak, tanpa ada rehabilitasi, renovasi, reboisasi, dan sejenisnya. Ekosistem menjadi rusak, timpang, serba kacau, dan sarat penderitaan.

Baca Juga: Usulan tiga Raperda, Bupati sampaikan jawaban atas pandangan umum Fraksi DPRD Sukoharjo, ini isinya

Penderitaan manusia dan alam semesta, dapat berupa maraknya berbagai penyakit. Penyakit paling berbahaya adalah penyakit masyarakat (kejahatan). Teori hukum klasik umumnya menjelaskan bahwa suatu kejahatan bisa terjadi karena 2 (dua) sebab. Pertama, karena ada niat pada pelakunya; dan kedua, karena ada kesempatan. Sebab pertama, umumnya lebih kuat pengaruhnya daripada sebab kedua.

Ketika seseorang sudah berniat melakukan kejahatan, maka dicarilah segala macam cara dan kesempatan untuk mengeksekusinya. Berbagai posisi, peran, dan jabatan dapat direkayasa untuk melakukan kejahatan. Dalam jabatan strategis, terbuka peluang untuk merekayasa sistem hukum,  dan sarana kerja. Keduanya, dapat diatur sedemikian rupa sesuai nafsunya. Dalam bingkai sistem pemerintahan, misalnya, pekerjaan menjadi seolah-olah halal (dibolehkan), padahal sejatinya haram (dilarang), karena perbuatan ilegal diubah sebagai legal.

Kembali pada pantha rei, siapapun berada dalam suatu sistem - suka atau tidak suka - wajib mengalir sebagaimana sistem mengkondisikannya. Tidak ada peluang untuk berbuat di luar sistem. Artinya, seseorang telah kehilangan jati-dirinya, karena terpaksa mengalir sesuai sistem yang berlaku. Orang sebaik apapun aslinya, tidak ada pilihan lain, pastilah keli (hanyut) dalam aliran sistem itu.

Terhadap fenomena maraknya kejahatan terstruktur, sistemik, dan masif, kiranya amat relevan untuk dipahami pesan moral Muhammad Saw. Bahwa  setiap kejahatan pasti ada perhitungannya, yaitu sanksi/hukuman yang setimpal. Sanksi/hukuman itu bisa tertimpakan di dunia maupun di akhirat. Wujudnya, bisa berupa rasa sakit, penderitaan, rasa sedih, kesusahan hidup, dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya. Sedangkan sanksi/hukuman di akhirat, disiksa dan tempat di neraka jahanam (QS al-Nisa' [4]: 123).

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB