Oleh: Sudjito Atmoredjo*
VIRAL di media, nama Muhammad dan Maria digunakan untuk promo gratis miras di Holywings. Wajar dan pastilah orang Islam dan Kristiani marah. Ini penghinaan. Maka, patut diapresiasi, outlet Holywings ditutup Pemerintah Daerah. Izin dicabut.
Benarkah kehidupan di negeri ini semakin beradab? Ataukah sebaliknya, terindikasi semakin biadab? Hemat saya, pertanyaan mendasar ini penting menjadi perhatian dan tanggung jawab semua pihak untuk menjawabnya secara objektif dan futuristik.
Sila ke-2 Pancasila, secara eksplisit berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini hanya akan bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, manakala dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk semua urusan.
Baca Juga: Provinsi di Papua Bertambah, Polri Berencana Bentuk Tiga Polda Baru
Apalah arti hafalan, ataupun penjelasan berbusa-busa dalam suatu seminar, ketika perilakunya jauh dari kategori beradab, dan justru semakin mendekati kategori biadab.
Ambil contoh, perihal jabatan dan kekuasaan.
Agar berhasil memperebutkannya, menurut Nihan (1991), ada 18 butir patokan praktis yang mesti dipraktikannya, yakni: berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, membenci, mencaci maki, menyiksa, memerkosa, merusak-menyabot, membumi hangus, membunuh sampai membantai. Ringkasnya, demi jabatan dan kekuasaan, segala cara dibenarkan, tanpa hirau rambu-rambu moralitas-religius.
Dari dulu hingga sekarang, komunisme mengajarkan hal-hal seperti itu. Aktivis, kader, pengikut partai komunis, dilatih membuat kabar hoaks. Sampai ahli dan terampil mempraktikannya. Diyakinkan bahwa mencederai, membunuh, dan membantai lawan politik, bukanlah dilarang. Persekusi secara fisik maupun melalui media sosial, menjadi salah satu senjata penaklukan lawan politik.
Baca Juga: RUU Pemekaran Papua Disahkan DPR Jadi Undang-Undang, Mendagri: Demi Kemajuan Pembangunan Papua
Pada ranah hukum, tampaknya kebiadaban politik dan bisnis, mewarnai hukum dan kekuasaan. Rumus klasik, sebagaimana tersurat dalam UUD 1945, bahwa negeri ini “berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan semata”.
Di situ tersirat ada kaitan antara hukum dan kekuasaan. Tetapi tidak terlihat, bagaimana dominasi politik atas hukum dan kekuasaan. Dominasi politik itu, munculnya pada praktik kenegaraan. Misal dikatakan, hukum itu produk politik. Kekuasaan pun dibagi-bagi sesuai dengan konfigurasi politik dan kekuatan oligarki.
Bagi siapapun yang konsisten terhadap UUD 1945, akan senantiasa mengatakan hukum itu panglima. Dalam suasana normal, tenang, dan damai, di situ hukum hadir dan berfungsi memberikan rasa aman, tertib, teratur dan adil.
Baca Juga: Presiden Jokowi Ingin Perang Segera Selesai Agar Pasokan Pangan dan Pupuk Membaik
Sementara itu ketika kondisi genting, abnormal, rentan terjadi keambrukan negara, maka hukum tampil di garda paling depan. Begitu panglima (hukum) datang, sekalian praktik politik dan kekuasaan yang cenderung liar, liberal, banal, dikendalikan sedemikian rupa melalui penegakan hukum.