UNDANG-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah omnibus law pertama yang disahkan dalam hukum Indonesia. UU Cipta Kerja yang bersifat omnibus atau mengubah banyak pasal di beberapa UU sekaligus.
Adapun UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan pada kelompok berpenghasilan menengah, seperti UMKM dan orang pribadi.
Keseluruhan pasal ini mengubah ketentuan perpajakan di beberapan ketentuan sebelumnya, mulai dari UU Kententuan dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Cukai, UU Penanganan Covid-19, dan UU Cipta Kerja.
Baca Juga: Tantangan dan Reformasi Perpajakan di Era Perkembangan Teknologi dan Artificial Intelligence (AI)
Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 1 ayat 1, Undang-Undang diselenggarakan berdasar asas:
- Keadilan
- Kesederhanaan
- Efisien
- Kepastian hukum
- Kemanfaatan, dan
- Kepentingan sosial.
Adapun tujuan dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 1 ayat 2 adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian;
- Mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera;
- Mewujudkan system perpajakan yang lebih berkeadilan, dan berkepastian hukum;
- Melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan
- Meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Baca Juga: Mengenal Pemindahbukuan dan e-PBK
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 berkaitan dengan pajak UKM, PPh final adalah pajak atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. PPh final pajak UKM harus disetorkan ke bank persepsi (bank yang menerima pembayaran pajak untuk diteruskan ke kas negara) juga kantor pos setiap bulan dengan menggunakan e billing yang dibuat oleh Wajib Pajak melalui DJP Online.
Bagi WP Orang Pribadi UMKM yang selama ini membayar PPh dengan tarif final 0,5% sesuai PP No.23/2018, diberikan insentif berupa batasan penghasilan tidak kena pajak atas peredaran bruto hingga Rp500.000.000,00 dalam satu tahun sesuai peraturan terbaru Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhitung penerimaan penghasilan di tahun 2022.
Pengenaan tarif PPh final 0,5% dapat digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto usaha tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun. Namun, pengenaan tarif PPh final tersebut memiliki masa berlaku, terbatas pada jangka waktu tertentu.
Baca Juga: DJP Sebut TikTok Setor Pajak Sebagai PPN PMSE
Tujuan diberikannya masa berlaku tarif PPh final 0,5% tersebut adalah agar Wajib Pajak UMKM naik kelas berkembang menjadi Wajib Pajak yang lebih besar. Selama jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5% tersebut, DJP akan terus berupaya mendampingi Wajib Pajak UMKM untuk menjadi lebih baik lagi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Ibu Dwi Astuti mengatakan, berdasarkan Pasal 59 PP 55/2022, jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5% paling lama adalah selama 7 (tujuh) tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi. Jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0.5% untuk Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/ badan usaha milik desa bersama, atau Perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang adalah paling lama selama 4 (empat) tahun. Jangka waktu selama 3 (tiga) tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Jangka waktu tersebut di atas terhitung sejak wajib pajak terdaftar (jika terdaftar setelah tahun 2018) atau sejak tahun 2018 (jika terdaftar sebelum tahun 2018).
Selain akibat telah berakhirnya masa berlaku tersebut, tarif PPh final 0,5% dapat juga berakhir apabila dalam satu tahun pajak, peredaran bruto telah melebihi Rp4,8 miliar atau WP dengan kemauan sendiri memilih untuk melakukan penghitungan normal menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. Namun, apabila dalam satu tahun pajak berjalan, peredaran bruto telah melebihi Rp4,8 miliar, WP tersebut tetap dikenai tarif PPh final 0,5% sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan. Perhitungan normal baru diberlakuan pada tahun pajak berikutnya.