Tim Gabungan/Satgas akan melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, dan Kemenko Polhukam. Komite akan melakukan case building dengan memprioritaskan LHP yang bernilai paling besar. Dimulai dengan LHP senilai agregat lebih dari Rp 189 triliun.
Ketiga, dipertanyakan, dapatkah Tim Gabungan/Satgas menjadi institusi ampuh dan mampu bekerja secara efektif? Pertanyaan ini merupakan harapan sekaligus peringatan (warning) bahwa masalah yang dihadapinya tergolong super kompleks dan melibatkan kekuatan raksasa.
Kompleksitas masalah dimaksud antara lain tersurat pada poin kelima. Bahwa untuk LHP dengan nilai transaksi agregat Rp 189.273.872.395.172, pengungkapan dugaan TPA dan TPPU, sudah dilakukan langkah hukum. Melalui proses peradilan, terhadap TPA telah menghasilkan putusan pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK). Ini artinya vonis pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Namun Komite TPPU memutuskan untuk tetap melakukan tindak lanjut terhadap vonis PK tersebut. Tindak lanjut juga dilakukan terhadap hal-hal yang selama ini belum masuk kedalam proses hukum (case building) oleh Kementerian Keuangan. Seperti apakah case building itu?
Baca Juga: Tiga Motor Terlibat Kecelakaan di Berbah Sleman, 1 Orang Pengendara Tewas di Lokasi Kejadian
Di bidang hukum, case building diartikan sebagai pengembangan kasus dari sejak awal, melalui pemahaman dan penyelesaian secara utuh dan menyeluruh. Kasus tidak diiris-iris atau dipotong-potong. Penangan kasus tidak hanya berdasarkan hal-hal yang diperoleh dari penyadapan atau tindakan konvensional dalam hukum acara pidana saja. Fokus dan lingkup penanganan kasus meluas hingga eksplorasi terhadap kasus lain yang terkait. Dalam case building, perihal eksplorasi kasus ini menjadi perhatian seksama.
Pasca perang ketiga, amanah berat penuntasan kasus berada di Tim Gabungan/Satgas. Banyak rintangan berat di depan mata. Pertama, rentan perilaku obstruction of justice oleh pelaku TPPU dengan menggunakan kaki-tangan pihak lain, antara lain: ahli ekonomi, ahli hukum, pengacara, oknum hakim, oknum anggota DPR, dan lain-lain.
Kedua, dalam perspektif teori organ. Kemenkeu (cq. Ditjen Pajak dan Ditjen Bea & Cukai) dan DPR terindikasi sedang sakit. Di situ ada roh jahat gentayangan. Tak terlihat mata kepala, tetapi hasutannya amat berpengaruh signifikan terhadap pola pikir dan perilaku korup. Transparency International Indonesia dalam rilisnya (Selasa, 25/1/2022) menyebut sumber korupsi terbesar di Indonesia berada di lembaga-lembaga itu.
Ketiga, berperkara dengan pelaku TPPU dan koruptor, ibarat perang Baratayuda. Sungguh tidak mudah menggapai kemenangan. Mengapa? Karena amat mungkin, hukum, aparat, dan kekuasaan dibeli dengan uang. Penyakit wahn (cinta dunia) berkelindan dengan hiruk-pikuk perebutan kekuasaan, jabatan, dan materi-duniawi.
Baca Juga: Raih kesempurnaan puasa dengan jauhi ghibah
Hamenangi zaman edan. Ksatria (prajurit sejati), hanya akan menang perang, bila teguh dalam pendirian, selalu eling lan waspada. Kita berikan dukungan kepada prajurit sejati. Jangan biarkan berjuang sendirian.
Semoga Tim Gabungan/Satgas di bawah komandan Menko Polhukam mampu menunaikan tugas dengan baik dan selamat. Saatnya, semua pelaku TPPU dan koruptor sebagai orang-orang berwatak angkara murka, dikalahkan oleh prajurit sejati. Sura dira jaya ningrat lebur dening pangastuti. Wallahu’alam.
* Guru Besar Ilmu Hukum UGM