Baca Juga: Tragedi Malam Tahun Baru, Pengacara Rudi S Gani Tewas Ditembak OTK di Bone
Realitas empiris menunjukkan bahwa zaman jahiliah, terulang di negeri ini. Tanda-tandanya antara lain: (1) Banyak orang memertuhankan uang. Uang dicari, dikumpulkan, dan dijadikan simbol keberhasilan kehidupan. Segala macam cara dihalalkan, asal bisa menghasilkan uang. (2) Banyak orang abai tentang kehidupan sejati (akhirat), dan justru fokus pada kehidupan dunia semata. (3) Penguasa gagap memberantas kejahatan (korupsi), karena pada dirinya telah terjangkiti penyakit gila harta, kekuasaan, dan kemewahan. (4) Korupsi dipandang sebagai bagian kehidupan, dan bukan kejahatan, sehingga dipandang sah, selagi tidak tertangkap dan terbukti bersalah. (5) Koruptor dilakukan berjamaah, secara sistemik, melalui merakayasa hukum, sehingga pelakunya mudah terbebaskaan dari jeratan/sanksi hukum.
Amat diharapkan, koruptor dikejar hingga ke ujung dunia. Tangkap. Adili. Timpakan hukuman terberat. Sebagaimana negara-negara lain (China, Laos, Thailand, Malaysia, Singapura, Arab, dll.) telah memberlakukan hukuman mati bagi koruptor. Mengapa Indonesia, tidak berbuat hal serupa?.
Bila undang-undang (hukum positif), dan aparat, serta lembaga penegak hukum masih bermasalah, maka berlakukan dan aktualisasikan konsep hukum progresif. Hukum tidak boleh hanya untuk hukum itu sendiri (legal-positivistik), melainkan kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara, harus dipandang sebagai hukum tertinggi, dan dimenangkan atas segala macam hukum positif yang menghalanginya. Wallahu’alam.*
* Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM