Zaman Jahiliah dan Surga Koruptor

photo author
- Senin, 6 Januari 2025 | 09:30 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (dok pribadi)
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

"... Saya memberi kesempatan untuk bertobat, hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri uang rakyat, kalau kau kembalikan uang yang kau curi. Ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong uangnya, ... " kata Prabowo di depan para mahasiswa Indonesia (detikNews, 19/12/2024). Itulah bagian pernyataan Presiden, ketika bicara di depan mahasiswa Indonesia di Kairo.

Pernyataan itu, menuai pro dan kontra. Pendapat yang berseliweran, mengerucut pada pertanyaan, mungkinkah koruptor menyesali perbuatannya, mengembalikan uang curiannya, dan bertobat? Sebagai akademisi dan insan anti korupsi, saya mencoba melihatnya melalui optik morality of law.

Dimaksud morality of law adalah persepsi dan penerimaan hukum oleh individu dan/atau masyarakat, bertolak dari dimensi akhlak/moralitas/etika. Moralitas dimaksud mencakup: (1) moralitas aspirasi (keinginan) agar hukum bersubstansi kepentingan terbaik bagi kehidupan bersama, dan (2) moralitas praktis, yakni keharusan bagi siapapun yang diberi tugas/amanah di bidang hukum mengedepankan sikap etis, jujur, dan profesional.

Per definisi (tekstual), korupsi adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan merugikan negara atau perekonomian negara, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Korupsi dapat dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan. Definisi demikian, merupakan petunjuk, agar siapapun bicara tentang korupsi, berada dalam persepsi yang sama, sehingga lebih lanjut bisa diperoleh kesamaan langkah-langkah untuk pemberantasannya.

Baca Juga: Kisah Sam Ferry, Pengusaha Bakso Gunung yang Bangun Jalan di Kampung Halaman Desa Bale Asri Malang

Secara umum, siapapun, pasti berkeinginan agar negeri ini bebas dari korupsi. Konsisten dengan sikapnya itu, maka bila ada orang justru menjadi koruptor, maka masyarakat mengutuknya. Artinya, koruptor dipandang sebagai musuh masyarakat, bangsa, dan negara.

Benarkah bangsa ini senantiasa konsisten bersikap demikian? Morality of law memberikan penjelasan dan panduan hal-hal berikut:

Pertama, dalam kitab suci (al-Qur’an), perihal penegakkan hukum telah ada contoh dan panduannya. Tesirat pada kisah Adam-Hawa, ketika lalai makan buah kuldi, maka kepadanya dihukum dengan mengeluarkannya dari surga. Penyelesalan dan pemintaan maaf, diterima oleh Ilahi Rabbi, tetapi hukum tetap ditegakkan. Artinya, pertobatan, tidak bisa dijadikan pengganti sanksi hukum. Keadilan, diwujudkan, tanpa pandang bulu, dan tanpa pandang urusan. (QS.al-A’raf: 23).

Kedua, sejurus dengan firman Tuhan di atas, filsuf Lucius Calpurnius Piso Caesoninus pada tahun 43 SM, mengajarkan penegakan hukum dan keadilan dengan kredo “Fiat justitia ruat caelum”, artinya: “keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh". Sejiwa pula dengan adagium dari  Raja Hungaria dan Bohemia, Ferdinand I (1503–1564): “fiat justitia et pereat mundus” artinya: hukum tidak boleh mengecualikan kondisi apa pun, bahkan jika dunia sedang diguncang badai, pandemi, perang, atau situasi buruk lainnya. 

Baca Juga: Warga Nyutran Panen Jagung Pulut di Lahan Perkotaan Yogyakarta

Ketiga, di zaman jahiliah (kebodohan), abad ke-7 M, sikap tegas dalam penegakan hukum, ditunjukkan Rasulullah Saw: “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.

Morality of law telah menunjukkan contoh/keteladanan yang gamblang, perihal penegakan hukum. Contoh itu langsung berasal dari Tuhan dan Nabi. Manusia cerdas, mampu berpikir sehat, tinggal mengaktualisasikam contoh tersebut. Tak perlu mencari/membuat pola penegakan hukum lain untuk pemberantasan korupsi? Telah dinyatakan bahwa tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah, bagi orang-orang beriman (QS.al-Maidah: 50).

Kemungkinan koruptor bertobat, mau mengembalikan uang negara, sungguh amat kecil. Bagi Pemeritah pun, sungguh amat sulit untuk mendetailkan pengaturannya. Bila pertobatan dan pengembalian uang negara dilakukan secara diam-diam, justru rentan menimbulkan kecurigaan publik (public distrust).

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X