Purna Tugas Sebagai Terminal Kehidupan

photo author
- Minggu, 25 Februari 2024 | 12:30 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

Lega. Bahagia. Itulah kenikmatan hidup yang saya rasakan. Setelah perjalanan panjang selama 40 tahun, per 1 Maret 2024, saya resmi masuk masa purna tugas.

Menegok ke belakang selama perjalanan 40 tahun itu, terekam jejak langkah beraneka ragam. Ada kalanya jalannya lapang, lurus, mulus.  Penuh keberkahan di sekelilingnya. Suasana segar. Wajah menjadi berseri-seri. Hidup terasa indah.

Namun, ada kalanya, jalannya berkelok-kelok, ada tanjakan, ada kerikil tajam, dan berbagai rintangan. Segalanya, mesti dihadapi dengan dengan tenang, sabar, ulet, dan tawakal. Selalu diupayakan tidak mengeluh.

Baca Juga: Kerjasama dengan Universiti Malaysia Perlis ditingkatkan, UMY membuka program Magister-Doktoral

Bila semua jejak dan langkah itu dirangkai berkesinambungan, maka tampaklah, bahwa ternyata perjalanan hidup dan kehidupan itu asyik, berkesan, dan bermakna. Seolah pelangi, warna-warni kehidupan itu tertata rapi, sehingga indah sekali.

Purna tugas, ternyata bukan garis finish perjalanan kehidupan. Melainkan sekadar terminal. Artinya, perjalanan panjang masih terus berlangsung. Ketika suatu urusan telah selesai, mesti bersegera ke urusan lain. Ada banyak urusan lain yang perlu segera dikerjakan. Urusan-urusan itu sebagian merupakan kelanjutan dari tugas-tugas sebelumnya, dan sebagian lain merupakan urusan-urusan baru.

Sungguh. Logika dan perencanaan seorang hamba, tak cukup untuk menentukan apa saja urusan-urusan baru itu. Suatu hal yang pasti, Allah SWT - pemilik dan pemberi hidup dan kehidupan - telah memiliki skenario. Skenario itu terasa menakjubkan.

Pengalaman spiritual memperlihatkan, atas kehendak-Nya, segala yang ada dalam skenario itu terasa proporsional. Sesuai dengan jati-diri, dan kondisi masing-masing. Sebagai orang lanjut usia, urusan yang diamanahkan itu berkesesuaian dengan kondisi fisik (raga) maupun psikis (jiwa). Segalanya diarahkan agar lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Itu semua dikaruniakan-Nya, agar hidup menjadi bermakna.

Baca Juga: Ini yang harus dilakukan orang tua bila anak menjadi pelaku perundungan

Hemat saya, umur 70 tahun, tergolong umur panjang. Bicara perihal umur panjang dan urusan-urusan pada pasca purna tugas, kiranya relevan untuk diingat sabda Rasulullah SAW: "Tak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari kiamat sampai selesai ditanya tentang 4 (empat) perkara, yaitu: (1) tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; (2) tentang masa mudanya, dipergunakan untuk apa; (3) tentang hartanya, darimana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan; dan (4) tentang ilmunya, apakah sudah diamalkan" (HR At-Tarmidzi).

Dalam Islam - agama yang saya anut - usia 40 tahun dianggap sebagai usia yang istimewa. Ia dipandang sebagai tonggak awal kemapanan seseorang. Rasulullah SAW pun diangkat sebagai Nabi oleh Allah SWT pada usia 40 tahun.

Bagi kaum sufi, usia 40 tahun dianggap sebagai pintu gerbang menuju Allah SWT. Seorang sufi besar, Syaikh Abdul Wahhab bin Ahmad Asy-Sya'rani, dalam kitab Bahrul Maurud, menulis, "Telah diambil perjanjian dari kita, apabila umur telah mencapai 40 tahun, hendaklah bersiap-siap melipat kasur (mengurangi tidur untuk memperbanyak ibadah, pen.) dan selalu ingat pada setiap tarik nafas, bahwa kita sedang berjalan menuju akhirat, sampai tak merasa tenang lagi rasanya hidup di dunia".

Syukur ke hadirat-Nya, di usia 40 tahun, saya diperkenankan menunaikan ibadah haji. Sungguh banyak pengalaman spiritual yang teramat indah dan bermakna untuk bekal dan optik mengarungi kehidupan sebagai dosen di fakultas hukum UGM maupun tugas-tugas lainnya. Buku-buku dan ilmu yang selama ini saya peroleh dari senior pendahulu, terasa dangkal dan sempit bila tidak ditukikkan ke sumber ilmu yang sesungguhnya, yakni al-Ilm (Tuhan Yang Maha Tahu). Tidak apa, ketika warna keilmuan yang saya miliki dan saya ajarkan ke orang lain (mahasiswa) dipandang aneh, tidak lazim, keluar dari ilmu hukum konvensional. Ilmu hukum profetik itulah yang hemat saya perlu terus dikembangkan dalam pendidikan ilmu hukum.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X