HARIAN MERAPI - Alumnus Fakultas Seni dan Media Rekam (FSMR) Jurusan Fotografi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Dewi Sartika Bukit menggelar pameran fotografi dan film dokumenter di Galeri Pandeng, ISI Yogyakarta, Sabtu-Rabu (11-15/2/2023).
Tak kurang dari 200 foto hasil karya Dewi SB dipajang di Galeri Pandeng, yakni seputar perempuan-perempuan perajin kain ulos (kain khas Batak, di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara).
Selain ratusan karya foto, ada pula satu film dokumenter bertema perempuan-perempuan pengulos dengan durasi waktunya, 20 menit. Ditambah lagi kegiatan pendukung seperti diskusi dengan menghadirkan, Prof Drs Soeprapto S MFA PhD (Guru Besar ISI Yogyakarta) dan Wahyudin (kurator pameran).
“Ulos bukan sekadar selembar kain, melainkan penanda eksistensial Batak. Itu sebabnya pula perempuan pengulos bukan pembuat kain belaka, melainkan pencipta dan penjaga martabat Batak,” ungkap Dewi SB, akhir pekan lalu.
Menurut Dewi, tanpa mereka, para perempuan pengulos, sangat dimungkinkan, ulos akan punah dan sirna pulalah sesuatu yang berharga dalam kebudayaan Batak.
“Bagi saya, para perempuan pengulos adalah maetro yang tak tampak, sehingga pameran fotografi dan film dokumenter ini bertajuk Maestro yang Tak Tampak,” tandasnya.
Pameran serupa, sebut Dewi, pernah digelar di Galeri Salihara, Jakarta. Setelah di ISI Yogyakarta ada pula rencana untuk dipamerkan pula di Bandung, Jawa Barat.
Baca Juga: Ketua DPD Golkar Surakarta Dicopot, Ini Alasannya
Masih menurutnya, ukuran foto yang dipamerkan beragam, yaitu dari 20 x 30 Cm hingga 120 x 150 Cm. Mulai dari survei lokasi untuk kegiatan fotografi/membuat film dokumenter hingga tergelarnya pameran tersebut membutuhkan waktu sekitar lima tahun.
Sementara itu Wahyudin sebagai kurator pameran bertajuk Maestro yang Tak Tampak di Galeri Pandeng ISI Yogyakarta mengungkapkan, foto-foto dan film dokumenter karya Dewi SB menjadi cerita etnografi visual tentang perempuan-perempuan pengulos.
“Terutama kalau kita memahami etnografi sebagai cerita seorang etnografer ketika ia berada di suatu kebudayaan tertentu,” tegasnya.
Selain itu, sebut Wahyudin, foto-foto dan film dokumenter tentang perempuan-perempuan pengulos memperlihatkan sikap intelektual yang langka.
Baca Juga: PT KAI Commuter Indonesia Layani Delapan Juta Pengguna KRL pada Februari 2023