Jamasan Pusaka di Omah Dhuwung Sleman, ungkap makna luhur adat pembersihan keris dan batin

photo author
- Sabtu, 13 Agustus 2022 | 13:46 WIB
Taufiq Hermawan (kanan) saat melakukan jamasan pusaka tosan aji keris pada Pameran Keris Kalawijan di Omah Dhuwung, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, Jumat (12/8/2022) (Foto: Koko Triarko)
Taufiq Hermawan (kanan) saat melakukan jamasan pusaka tosan aji keris pada Pameran Keris Kalawijan di Omah Dhuwung, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, Jumat (12/8/2022) (Foto: Koko Triarko)

harianmerapi.com – Jamasan pusaka tosan aji keris tidak sekadar membersihkan sebuah benda secara fisik, namun juga batin.

Karena itu, prosesi jamasan pusaka tosan aji seperti keris melibatkan ritual doa dan sesaji.
Pada pameran keris kalawijan di Omah Dhuwung Wukisari, Cangkringan, Sleman, juga dilakukan prosesi jamasan pusaka tosan aji keris untuk umum.

Acara itu bertajuk Hamasuh Tosan Aji, dan mengangkat tema ‘Lungiding Curiga Anggatra Jagat’. Artinya, ketajaman keris mewarnai dunia.

Penyelenggara pameran, Komunitas Lar Gangsir memandang ketajaman sebilah keris sebagai nilai adhiluhung yang mengajarkan tentang kebijaksanaan.

Baca Juga: Jamasan Pusaka Keraton Sumenep digelar di Desa Keris Aeng Tongtong, Bupati: lestarikan peninggalan leluhur

Anggatra berarti membentuk, merangkai, atau mewarnai, sedangkan jagat berarti dunia yang bermakna ruang dan waktu manusia dan semesta.

Dan, hamasuh merupakan aktivitas kebudayaan yang juga membutuhkan ketajaman intuitif.
Tidak sekadar membersihkan jasmaniyah, namun juga mengasah sisi batiniyah.

Sementara itu dalam prosesinya, jamasan pusaka tosan aji pada pameran tersebut dilakukan dengan tata cara adat lama.

Pelaku jamasan tosan aji, Taufiq Hermawan menjelaskan prosesi jamasan tersebut diawali dengan doa. Dia mengatakan, prosesi jamasan pusaka itu yang paling penting dan paling awal adalah doa.

“Kita meminta kepada Tuhan agar diberi kekuatan dan kelancaran,” kata Taufiq Hermawan usai prosesi jamasan. Prosesi doa tersebut kemudian dilanjut dengan uluk salam dan kidungan.

Baca Juga: Pemkot Yogyakarta gelar jamasan pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti di bulan Suro sebagai upaya lestarikan budaya

Dia menjelaskan, bahwa sebagai anak muda ketika hendak melakukan sesuatu yang sifatnya adiluhung secara etika harus uluk salam.

Setelah itu, dilanjut dengan kidungan Waringin Sungsang yang juga memiliki makna.
Taufiq Hermawan menjelaskan, bahwa Waringin Sungsang secara harafiah berarti beringin yang terbalik.

Hal tersebut menggambarkan adanya hubungan antara dunia bawah dan dunia atas.
“Pada prosesi kidungan itu kita memuji leluhur dan meminta kekuatan kepada Tuhan, supaya mampu melaksanakan acara adhilihung, yaitu jamasan,” kata Taufiq, menjelaskan.

Setelah doa dan kidungan atau uluk salam, meminta restu dan meminta kekuatan kepada Tuhan YME, baru prosesi jamasan dilakukan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Herbangun Pangarso Aji

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB
X