Bulan Suro mengapa keramat ? Simak sejarahnya dari zaman Sultan Agung di sini

photo author
- Rabu, 27 Juli 2022 | 11:11 WIB
 Sebuah ritual adat suran atau Suro di Tugu Yogyakarta.   (Foto: Koko Triarko)
Sebuah ritual adat suran atau Suro di Tugu Yogyakarta. (Foto: Koko Triarko)


Menurutnya, berbagai tradisi atau upacara adat pada bulan Suro disebut Adat Suran. Merupakan kebiasaan tradisi menyambut tahun baru Jawa, Suro.


Pada tanggal 1 Suro diadakan kegiatan-kegiatan adat setempat sesuai kebiasaan yang berlaku dan disebut Suran, yang disebut pula tanggap warsa.

Baca Juga: Ingin tanya tentang PeduliLindungi, bisa lewat ini


Maka, Suran berarti menyongsong datangnya tahun baru Jawa.
Tanggap warsa atau Suran itu diperingati dengan berbagai kegiatan secara berbeda-beda. Bisa perorangan dan kelompok atau massal.


Berbagai kegiatan Suran di banyak daerah, antara lain doa bersama, berjalan tapa bisu, atau pergi ke tempat sunyi.


Kemudian, mengunjungi pesisir atau gunung, tirakatan, larungan, lawatan, dan doa bersama, serta kidungan, macapatan, selametan, dan sedekahan.
Selain itu membersihkan diri, ziarah ke makam orang terpandang, atau mengunjungi cikal bakal desa.


Kemudian, puasa mutih, berpantang dan giat ibadah, bahkan ada yang bersama-sama mengkaji ajaran kejawen lewat pergelaran wayang kulit.

Baca Juga: Jenazah Brigadir J telah dibawa ke rumah sakit untuk otopsi ulang, ini suasananya


Menurut KRT Sumo Pitoyo, beberapa kegiatan itu menunjukkan Adat Suran bukan kegiatan sukaria. Tetapi, keprihatinan untuk mawas diri dan pengendalian diri.


Maka bulan Suro sering disebut bulan sakral, dan para penghayat kejawen mengisi bulan Suro dengan kegiatan bersifat sakral pula.


Adapun cikal bakal atau sejarah dari adanya tradisi Adat Suran itu adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Menurut KRT Sumo Pitoyo, Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja penerus agama Islam.

Baca Juga: Cara cek informasi laboratorium tes Covid-19, apakah sudah terafiliasi dengan Kemenkes atau belum


Raja Mataram itu bercita-cita luhur membangun kerajaan besar Mataram yang utuh, berwilayah kekuasaan se-Jawa, berwibawa dan berdaulat, tidak terpengaruh kekuasaan asing.
Untuk mewujudkan hal itu, Sultan Agung mengambil langkah-langkah penting dan suasana baru yang menunjang.


Sultan Agung kemudian membuat kebijakan penting yang berlaku bagi semua narapraja dan masyarakat Mataram.
Setidaknya ada empat kebijakan Sultan Agung yang kemudian mendasari adanya peringatan tanggap warsa atau bulan Suro.


Kebijakan yang pertama adalah menggalang semangat persatuan antara pimpinan, kerajaan dan masyarakat agar tergalang pula persatuan untuk melawan pengaruh dan kekuasaan asing, yaitu kolonial Belanda.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB
X