HARIAN MERAPI - Bulan Suro dipercaya sebagai bulan keramat. Akan banyak tradisi sakral dan beragam laku tirakat diadakan di bulan ini.
Berbagai tradisi di Bulan Suro yang dipercaya keramat ini umumnya bersifat pembersihan atau ruwatan.
Tradisi atau ritual di bulan keramat Suro yang bersifat pembersihan batin itu tidak hanya untuk manusia.
Baca Juga: Kasus Covid-19 naik, Ketua Satgas IDI: nakes dan dokter butuh peralatan yang memadai
Namun, juga untuk benda-benda sakral seperti pusaka. Misalnya, keris, tombak dan benda pusaka lainnya.
Tradisi atau ritual pembersihan benda-benda pusaka disebut jamasan.
Keraton Yogyakarta dan Solo serta lainnya, bahkan masih melestarikan tradisi jamasan pusaka di bulan Suro.
Mulai dari jamasan pusaka keris, tombak, hingga jamasan kereta kuda.
Ritual di bulan Suro lainnya seperti selametan, grebek gunungan, dan doa bersama juga masih mentradisi di kalangan masyarakat luas.
Baca Juga: Saat hendak memancing, remaja tenggelam di Waduk Pantoara, begini kondisinya
Namun, sejak kapan masyarakat terutama di Jawa mulai mengenal bulan Suro yang keramat ini?
Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta pernah mengadakan acara diskusi membahas sejarah bulan Suro tersebut.
Acara itu bertajuk Sarasehan Adat Suran dan Jamasan Pusaka, menghadirkan narasumber dari Keraton Yogyakarta dan pakar mranggi keris.
Sarasehan yang digelar 10 tahun silam, yaitu pada tanggal 22 November 2012 di Yogyakarta itu tidak hanya mengungkap sejarah bulan Suro.
Namun, juga memberikan semacam tutorial atau cara menjamasi pusaka keris.
Lantas, bagaimana awal mula sejarah bulan Suro yang keramat itu?
KRT Sumo Pitoyo sebagai abdi dalem Tepas Dwarapura Kesultanan Ngayogyakarta waktu itu, menjelaskan sejarah bulan Suro dari zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo.