Mengenal Istilah Kata ‘Sultan’ yang Marak Digunakan di Media Sosial

photo author
- Jumat, 1 Oktober 2021 | 16:31 WIB
Diskusi tim penyiapan Yogyakarta warisan dunia. (Foto:  Dok. Dinas Kebudayaan DIY)
Diskusi tim penyiapan Yogyakarta warisan dunia. (Foto: Dok. Dinas Kebudayaan DIY)

harianmerapi.com - Setahun terakhir, kata sultan atau anak sultan menjadi istilah yang sering digunakan di media sosial atau kehidupan sehari-hari.

Dalam bahasa pergaulan kekinian, sultan dapat diartikan sebagai orang yang kaya raya atau juga orang yang banyak uang dan hidup mewah, serta gaya hidup seseorang yang sering menghabiskan uang banyak tanpa perlu pikir panjang.

Istilah tersebut awalnya dilontarkan sebagai bahan lelucon dalam pergaulan generasi milenial hingga generasi Z.

Baca Juga: Cara Download Video TikTok Tanpa Watermark, Sangat Mudah

Dalam perkembangannya, kata sultan juga dipakai sebagai cara untuk menyindir seseorang yang kerap memamerkan kehidupan mewah.

Dilihat dari sejarah awalnya, sultan merupakan kata benda yang berarti kekuatan, kewenangan, atau kepemimpinan, diturunkan dari kata kerja sultah yang bermakna wewenang atau kuasa.

Di Indonesia, raja pertama yang diketahui menyandang gelar Sultan adalah Sultan Sulaiman (wafat 1211) dari Lamreh (kini di Provinsi Aceh).

Baca Juga: Hanya Ingin Terlihat Langsing Pakai Korset, Coba Renungkan Ini Risiko Bila Sering Dipakai

Di Jawa, raja pertama yang memakai gelar "Sultan" adalah Pangeran Ratu dari Banten (1596—1651), yang mengambil nama tahta Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir pada 1638.

Gelar ini kini masih digunakan di banyak daerah seperti Sultan Kasepuhan, Sultan Kanoman di Cirebon, Sultan Kutai, Sultan Pontianak, Sultan Ternate, dan Sultan Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengkubuwana X adalah satu-satunya sultan yang masih memiliki kekuatan politik secara resmi di Indonesia.

Baca Juga: Makanan Tradisional Bantul, Geplak Jawa Justru Banyak Diminati Konsumen Luar Daerah

Mengenai penyebutan kata sultan, dalam masyarakat Jawa, dimensi kultural berkaitan erat dengan tata kehidupan, sikap dan perilaku serta norma-norma yang berlaku.

Masyarakat Jawa mewujudkan konsep njawani atau paham tentang etika (unggah-ungguh) dan tata hubungannya dengan orang lain sesuai dengan kadar tingkatannya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Husein Effendi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB
X