Catatan dari Festival Lima Gunung 2024 di Kabupaten Magelang, orang desa jangan kaget menghadapi fenomena tak terduga

photo author
- Sabtu, 30 November 2024 | 21:30 WIB
Sesepuh komunitas Sitras Anjilin mengungkap tema  (MERAPI-AMAT SUKANDAR)
Sesepuh komunitas Sitras Anjilin mengungkap tema (MERAPI-AMAT SUKANDAR)

HARIAN MERAPI - Berikut adalah catatan dari Festival Lima Gunung 2024 di Kabupaten Magelang, orang desa jangan kaget menghadapi fenomena tak terduga.

Rumusan tema Festival Lima Gunung tahun 2024 adalah "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", dipikirkan, direnungkan, dan didiskusikan secara matang para tokoh dan pegiat utama Komunitas Lima Gunung, sejak awal tahun ini.

Rangkaian tulisan tema dibuat menggunakan kelobot, dipajang di panggung utama sehingga setiap penonton tertancapkan ungkapan reflektif tentang situasi akhir-akhir ini yang melingkupi suasana kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara.

 Baca Juga: Catatan dari Festival Lima Gunung 2024 di Magelang, bagaikan iringan gelombang raga dan jiwa dalam konstruksi makna 'Kiblat papat lima pancer'

Oleh sesepuh komunitas, Sitras Anjilin (65), ungkapan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone" yang menandai situasi zaman tidak menentu, telah dituliskan para pujangga pada masa lampau, termasuk Ranggawarsita sekitar 1860 dalam "Serat Kalathida" sebagai zaman edan.

Komunitas merumuskan tema tersebut pada festival tahun ini sebagai pengingat berbagai kalangan khalayak, terutama orang desa dan gunung, supaya tidak kaget menghadapi segala kejadian dan fenomena yang tak terduga.

Dalam menghadapi zaman tidak keruan, Sutanto memandang pentingnya setiap individu memperkuat kepribadian pada nilai-nilai budaya bangsa serta menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan langkah membangun harapan kehidupan lebih baik.

"Terhadap 'Wolak-Waliking Jaman Kelakone', supaya hati-hati, tokoh-tokoh dan elite. Desa mengingatkan," ucapnya dikutip Antara.

 Baca Juga: Catatan dari Festival Lima Gunung 2024 di Kabupaten Magelang, mengandalkan kekuatan realitas dan spiritualitas dusun

Tembang berbahasa Jawa langgam "Dhandhanggula" terkait dengan tema itu ditemukan Komunitas Lima Gunung karena sering dilantunkan orang desa sebagai lagu "Ura-ura".

Dalam kirab budaya Festival Lima Gunung melewati jalan-jalan Dusun Keron, tembang itu dilantunkan dalang Sih Agung Prasetyo.

Syair tembang itu: Semut ireng ngendhog jroning geni/ Ono merak memitran lan baya/ Keyong sak kenong matane/ Tikuse padha ngidung/ Kucing gering ingkang nunggoni/ Kodhok nawu segara oleh banteng sewu/ Precil-precil kang anjaga/ Semut ngangkreng anggrangsang Redi Merapi/ Wit ranti awoh dlimo

Terjemahan bebasnya, "Semut hitam bertelur dalam api. Ada merak berteman buaya. Mata keong sebesar kenong. Tikus bernyanyi. Kucing gering yang menunggu.

Baca Juga: Presiden Prabowo: Setiap Saya Keliling ke Banyak Negara, Indonesia Disegani

Kodok menjaring di laut, mendapatkan seribu banteng. Anak kodok yang menjaga. Semut rangrang menaiki Gunung Merapi. Pohon meranti berbuah delima".

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Swasto Dayanto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB
X