Dr Bagus Sarnawa SH MHum: Mewujudkan Pemilu Berkualitas dan Bermartabat, Mempertaruhkan Netralitas ASN

photo author
- Jumat, 4 Februari 2022 | 05:30 WIB
Dr Bagus Sarnawa SH MHum (Dokumen Pribadi)
Dr Bagus Sarnawa SH MHum (Dokumen Pribadi)

Baca Juga: Guna Meningkatkan Kualitas, Kampus Negeri Dilarang Angkat Dosen Tetap Non-PNS Mulai 1 Desember 2021


Lebih lanjut pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, di mana dalam Pasal 14 disebutkan “untuk lebih meningkatkan pembinaan, keutuhan dan kekompakan, serta dalam rangka usaha menjamin kesetiaan dan ketaatan penuh seluruh Pegawai Negeri Sipil terhadap Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, maka perlu dipupuk dan dikembangkan jiwa korps yang bulat di kalangan Pegawai Negeri Sipil”. Aturan ini dimaksudkan untuk menyatukan Pegawai Negeri Sipil dalam satu korps yaitu Korpri.

Namun, bagaimana praktiknya ?

Dalam praktiknya, netralitas Pegawai Negeri Sipil pada era Orde Baru tidak terlaksana dengan baik. Pegawai Negeri Sipil diharuskan menjadi anggota Golongan Karya (Golkar). Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dijaring melalui mekanisme Korpri yang berafiliasi ke Golongan Karya. Keterlibatan Pegawai Negeri Sipil sebagai anggota maupun pengurus partai politik menyebabkan posisi birokrasi tidak lagi netral.


Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam praktiknya diselewengkan menjadi loyalitas tunggal kepada Golongan Karya. Korpri sebagai satu-satunya organisasi pegawai negeri menjadi alat efektif untuk mengikat pilihan politik pegawai negeri kepada Golongan Karya. Birokrasi publik selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi instrumen efektif bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Baca Juga: Insentif Guru Madrasah Bukan PNS Cair, Ini Informasi yang Perlu Dicek di Simpatika


Pada tahun 1998 terjadi pergantian kekuasaan dari Orde Baru kepada Orde Reformasi. Pada masa Orde Reformasi, pengaturan netralitas Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Undang- Undang Kepegawaian dan Undang-Undang Pemilihan Umum. Dalam Undang-Undang Kepegawaian, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 khususnya Pasal 3 ayat (2) disebutkan “Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.” Dilanjutkan dengan peraturan perundang-undangan pelaksana lainnya.

Adakah keterlibatan politik birokrasi dalam pemilihan umum maupun pilkada ?

Dalam praktiknya, sejumlah studi mengidentifikasi fakta-fakta keterlibatan politik birokrasi dalam pemilihan umum baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif. Studi yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama jaringan kerja di empat daerah yaitu Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta, menemukan 54 indikasi pelanggaran ketentuan tentang fasilitas jabatan selama Pemilu 2009. Pelibatan birokrasi terjadi dalam bentuk mobilisasi Pengawai Negeri Sipil.


Pada tahun 2014, diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Baca Juga: STMKG Gelar Tes Seleksi Online di Seluruh Indonesia, Lulusannya Langsung Jadi PNS

Undang-Undang ini diterbitkan karena terjadi politisasi birokrasi oleh pejabat pembina kepegawaian. Dalam praktiknya, sebagaimana masa sebelumnya, terjadi pelanggaran netralitas Pegawai Negeri Sipil baik dalam pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, anggota legislatif maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Data Komisi Aparatur Sipil Negara menunjukkan bahwa selama tahun 2018 terjadi banyak pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara.

Melihat kondisi demikian, lantas apa yang Anda sarankan untuk perbaikan ?

Terkait hal itu, saya menyarankan : (1) perlu melakukan amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 untuk memisahkan jabatan politik dan jabatan karier dan memberi penguatan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara khususnya dalam memberikan rekomendasi sanksi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian, apabila melakukan pelanggaran dalam proses pembinaan kepegawaian yang berbasis merit system. (2) Memberi kewenangan yang lebih luas kepada Komisi Aparatur Sipil Negara dalam pengawasan implementasi merit system. Selama ini pengawasan hanya terbatas pada rekrutmen Jabatan Pimpinan Tinggi, seharusnya pengawasan juga pada implementasi merit system secara keseluruhan, sehingga perlu penguatan kelembagaan.


(3) Perlu penguatan posisi kelembagaan lembaga-lembaga pengawas di daerah seperti Inspektorat dan Badan Kepegawaian Daerah dan perannya sebagai pengawas netralitas Aparatur Sipil Negara. (4) Perlunya penegakan hukum terhadap pelanggaran netralitas oleh Aparatur Sipil Negara dengan melakukan penindakan berupa pemberian sanksi hukum secara tegas. Di samping memberikan sanksi kepada Kepala Daerah, Aparatur Sipil Negara, perlu juga dipertimbangkan larangan dan sanksi terhadap Bakal Calon Kepala Daerah (Balonkada) yang melakukan upaya menarik dan memanfaatkan pejabat pemerintah dalam proses dukung-mendukung dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan atau pemilihan kepala daerah.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X