HARIAN MERAPI— Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melalui Dinas Kebudayaan DIY sukses menggelar Workshop Macapat sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Catur Sagatra 2025.
Kegiatan yang telah berlangsung pada Jumat (28/11) ini menjadi ruang pembelajaran budaya yang menekankan nilai olah pikir, olah raga, dan olah jiwa melalui tembang tradisional.
Workshop macapat tersebut diselenggarakan selaras dengan tema utama Catur Sagatra 2025, “Kalyana: Olah Pikir – Olah Raga – Olah Jiwa”. Sejumlah narasumber dari empat kerajaan trah Mataram Islam di Yogyakarta dan Surakarta dihadirkan untuk membagikan pengetahuan dan praktik macapat berdasarkan tradisi masing-masing istana.
Para pemateri tersebut antara lain K.R.A. Tejo Bagus Sunaryo Budoyonagoro, S.Sn., M.A. dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, K.M.T. Projosuwasono dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, M.Dm. Rustomo Widodo Muktiono, S.Sn. dari Kadipaten Mangkunegaran, serta Mas Ngabehi Citropanambang dari Kadipaten Pakualaman.
Dalam kegiatan ini, para pemateri memaparkan makna, struktur, serta nilai-nilai filosofis macapat yang berkembang di lingkungan istana masing-masing. Selain pemaparan materi, workshop juga dilengkapi dengan sesi praktik yang mendapat sambutan antusias dari para peserta. Bahkan, sejumlah peserta terpilih diberi kesempatan untuk tampil membawakan tembang macapat bersama perwakilan empat istana dalam Pembukaan Pergelaran Catur Sagatra 2025.
K.M.T. Projosuwasono menilai workshop ini penting sebagai upaya memperkenalkan kembali macapat kepada generasi muda. Menurutnya, tembang tradisional tersebut sarat dengan pesan moral dan nasihat kehidupan.
“Harapannya anak muda mengenal, belajar, kemudian bisa, karena dalam macapat terdapat nasihat-nasihat luhur dari para pendahulu,” ujar K.M.T. Projosuwasono.
Baca Juga: Mencukur bisa bikin rambut bayi tumbuh lebat, fakta atau mitos ? Ini jawabnya
Hal senada disampaikan Mas Ngabehi Citropanambang. Ia menekankan bahwa macapat memiliki karakter berbeda dibandingkan kesenian lain karena lebih mengedepankan penghayatan terhadap teks dan makna.
“Macapat adalah sebuah kesenian yang berbeda dengan kesenian lain yang bisa ditonton. Macapat cenderung lebih pada dinikmati karena tidak ada instrumen musik dan sebagainya. Ini lebih pada pembacaan. Melalui macapat, kita banyak belajar tentang piwulang atau ajaran dari leluhur lewat teks,” ungkapnya.
Antusiasme generasi muda juga terlihat dari keikutsertaan peserta dalam workshop ini. Salah satu peserta, Attar, mengaku terkesan karena mendapatkan pengalaman baru dalam mempelajari tembang macapat.
“Saya jadi mengenal tembang dan cengkok yang baru. Kegiatannya menarik dan membuat saya lebih memahami makna macapat,” kata Attar.
Baca Juga: Ini penyakit yang harus diwaspadai bagi warga korban banjir Sumatera