Setelah membangun Masjid Kauman, Raden Trenggono bertekad untuk tinggal di padukuhan itu. Dia ingin manekung dan menyiarkan agama Islam.
Melihat kemantapan hati Raden Trenggono itu, Sunan Kalijaga lalu menikahkannya dengan putri Raden Santri dari Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, bernama Nyai Brintik.
Baca Juga: Dua Napi Terorisme di Lapas Perempuan Yogyakarta Ikrar Setia NKRI
Waktu itu, pusat peradaban sudah beralih ke Mataram. Panembahan Senopati menghargai Raden Trenggono sebagai saudara sepuh.
Diapun memberikan lokasi tanah masjid yang dibangun oleh Raden Trenggono itu sebagai tanah perdikan. Dan, Raden Trenggono lalu diberi gelar panembahan.
Dalam perkembangannya, tanah perdikan itu menjadi pusat santri dan tempat berkumpul para kaum atau rois. Karena itu, wilayah itu disebut Kauman. Demikian pula dengan masjidnya.
“Namun karena perkembangan zaman, Masjid Kauman kemudian diberi nama Masjid Sabiilurrosyaad untuk kepentingan pendataan,” kata Haryadi.
Baca Juga: Sejarah Shalat Tarawih Cepat di Pesantren Mambaul Hikam Blitar
Raden Trenggono yang di akhir masa hidupnya terkenal dengan julukan Panembahan Bodho wafat pada tahun 1600 Masehi.
Jenazahnya dimakamkan di Makam Sewu di Padukuhan Gesikan, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta.
Kini, Masjid Kauman dilestarikan sebagai peninggalan leluhur sejak zaman para wali.
Dari segi bentuk bangunan, Haryadi mengakui memang sudah banyak berubah. Tercatat, pemugaran terjadi tiga kali.
Di zaman Belanda, Masjid Kauman yang semula dari kayu diganti tembok. Kemudian, tahun 1980an masjid diperluas dan dibuatkan Jam Bancet yang sekarang masih ada.
Tahun 1996, ada penambahan luas serambi masjid. Sementara itu, mustoko masjid berbentuk mahkota Raja Jawa terbuat dari tanah liat masih asli dari zaman Panembahan Bodho. Begitu pula dengan bedug dari kayu wijen. *